Jumat, 25 Maret 2011

Teknologi Yang Memanusiakan

oleh Wildani Hefni


Di tengah kehidupan yang makin masif, teknologi begitu berjaya dan jadi magnet peradaban. Kemajuan teknologi informasi menjadi arus deras yang tak dapat dibendung dan menghegemoni pola pikir manusia. Lantaran kecanggihan teknologi, masyarakat mabuk kepayang mengonsumsi informasi. Orang-orang di sudut kampung pun tak ketinggalan mengikuti dimensi behaviorisme teknologi.
Dunia teknologi informasi berkembang sedemikian cepat dan di luar dugaan. Sebulan terakhir ini, video porno mirip Ariel-Luna-Tari jadi trending topic yang menguasai media massa melebihi popularitas Ariel. Sejak berita video panas itu muncul (4/6), media seperti mendapat angin segar dengan memberi ruang basic instinct. Pengelola media seakan lupa selain harus menjalankan fungsi informasi, juga punya tanggung jawab moral untuk menjalankan fungsi edukasi.
Selama berhari-hari publik dicekoki sejenis teka-teki yang sejatinya tak penting dan mendesak, tetapi terpaksa jadi penting akibat desakan media. Kasus “skandal kelamin” itu berekskalasi dari sekadar berita hiburan jadi urusan negara. Publik kepalang terganggu oleh kehebohan. Itu semua disebabkan oleh kecanggihan teknologi.
Pada posisi seperti itu, teknologi jelas berdampak negatif. Beberapa stasiun televisi malah menyuburkan rasa ingin tahu dan mendorong khalayak untuk melihat, mengunduh, menyimpan, dan memproduksi massal video porno yang jelas-jelas haram itu.
Pemberitaan media massa, terlebih televisi, telah membangkitkan voyeurisme di masyarakat. Tanpa kita sadari, revolusi internet mempermudah akses peredaran video. Akibat teknologi, pergeseran nilai di masyarakat kian mengkhawatirkan. Masyarakat kehilangan pegangan dan berada di tengah pusaran kebingungan tentang standar nilai, norma, hukum, dan batasan. Kecanggihan teknologi telah membawa masyarakat ke arus westernisasi dan liberalisasi di segala lini kehidupan. Tak ayal, tatanan dan nilai-nilai masyarakat negeri ini hancur berantakan.
Berkait dengan kecanggihan teknologi sehingga orang begitu gampang mengakses video porno, misalnya, jadi bukti nyata kerusakan moral bangsa. Di Surabaya, usai menonton video adegan mesum mirip Ariel, dua siswa SD dan SMP mencabuli siswi SD.
Tak hanya moral bangsa yang jadi korban. Kecanggihan teknologi pun mengalihkan perhatian publik dari karut marut dan disparitas negara Indonesia. Kasus Bank Century, makelar kasus, bahkan pemilihan pengurus partai politik besar tak begitu laku akibat kehebohan video yang jadi menu utama media massa.
Positif-Negatif
Keterlibatan teknologi dalam memediasi dan memfasilitasi peristiwa tentu mengundang tanya. Itukah efek negatif dari bentuk dominasi teknologi atau justru kecerobohan manusia dalam menerima ilmu pengetahuan teknologi?
Pada awal kemunculan, internet membawa kejutan sekaligus menjungkirbalikkan keterbatasan dalam akselerasi telekomunikasi. Metafor internet seperti navigating, surfing, tidak wave demand, jadi bagian yang tak asing lagi di masyarakat.
Sebagai hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, internet diharapkan dapat menjadi inovasi untuk mengurangi ketidakpastian. Citraan hasil produksi teknologi berpeluang menggantikan realitas.
Dalam analisis Barker (2000), kekuatan teknologi antara lain memuat unsur seperti elektronika, pengabaian, kecepatan, konvergensi, pluralitas, dan interaktivitas. Ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk internet, bak pisau bermata dua karena dapat berpengaruh positif sekaligus negatif terhadap pengguna. Mulai dari internet addicted, cybercrime, hingga banalitas informasi internet.
Kemerebakan penyebaran video porno merupakan salah satu gejolak sosial yang dimediasi teknologi. Apalagi penyebarannya diketahui bermula dari internet hingga merebak di telepon seluler. Sebuah peristiwa yang menyadarkan kita akan ketajaman teknologi hingga jadi bumerang bagi manusia. Teknologi tidak hanya menawarkan kekuatan produktif, tetapi juga menindas manusia. Masalah itu telah diperingatkan sejak lama oleh kaum Frankfurt yang menyebut, modernitas justru jadi belenggu. Namun manusia hingga kini tetap berekstase secara berlebih terhadap teknologi.
Injeksi teknologi yang tidak tepat guna justru menyerang manusia.  Ketidaksiapan menerima ilmu pengetahuan dan teknologi pun jadi penyebab keterseretan manusia ke jurang kehancuran.
Teknologi diciptakan manusia dan tercipta untuk memberi kemudahan bagi kehidupan manusia. Teknologi-komputer-internet hanyalah benda mati. Memang semua tergantung pada tangan sang pemegang karena segala sesuatu memiliki sisi keunggulannya (likulli sya’in maziyyah).
Ironisnya, kecanggihan teknologi tidak hanya dilakoni orang dewasa. Namun juga remaja dan anak-anak. Begitu mudah aib orang diunduh, tersebar, dan diperbincangkan bak bioskop massal dari Sabang sampai Merauke, dari Nias sampai pulau Rote, bahkan jadi pembicaraan hingga ke Afrika Selatan.

Memanusiakan Teknologi
Mayoritas masyarakat telah menjadi “hamba teknologi”. Jadi hamba karena kebanyakan hanya menerima produk teknologi apa adanya, tanpa memilah mana layak dikonsumsi dan mana tidak. Sekarang bukan manusia yang mengendalikan teknologi, melainkan teknologilah yang menjelma sebagai pengendali manusia. Tak ada lagi celah antara ranah privasi dan ranah umum. Masyarakat benar-benar terwarnai “euforisme” kecanggihan teknologi.
Masyarakat tentu membutuhkan teknologi yang memanusiakan, yaitu teknologi yang menempatkan manusia tak hanya sebagai objek penikmat, tetapi juga pengendali. Kehadirannya sanggup membawa pencerahan dan nilai positif bagi masyarakat.
Jika tak diantisipasi, teknologi semacam komunikasi, internet, VCD, dan televisi akan mirip banjir bandang hilir sungai dan menenggelamkan anak-anak di hulu dengan potongan-potongan pornografi, kekerasan, hedonisme, dan komersialisasi. Dalam analisis Aris Arif Mundayat (2009), penyebaran VCD di Indonesia lebih liberal daripada di AS.
Hampir di semua pojok pedesaan, masyarakat dengan mudah mendapat VCD porno. Di Australia, Eropa, AS, film semacam itu hanya bisa di dapat di toko khusus orang dewasa atau ada petugas khusus yang selalu meminta kartu identitas konsumen.
Kata-kata teknologi canggih selalu memberikan gambaran mesin otomatis yang rumit dan seolah tak terpikirkan. Teknologi diasosiasikan dengan kecanggihan. Bermuara pada dua dimensi, ibarat pisau. Lalu kapan, kita bisa menemukan teknologi yang memanusiakan manusia?

Tulisan ini dimuat di Suara Merdeka, 19 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar