Jumat, 25 Maret 2011

Lapis Hidup Manusia Merapi


Oleh Wildani Hefni

Judul: Merapi dan Orang Jawa, Persepsi dan Kepercayaannya
Penulis: Lucas Sasongko Triyoga
Penerbit: Grasindo, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: xxiv + 232 halaman
Siapa sangka alam bisa “emosi“ menyembur dan menggeliat tak ada yang bisa mengontrol? Siapa mengira alam menyampaikan pesan dengan pola dan gaya letusan? Jawabanya, ada di alam itu sendiri, termasuk juga dalam letusan Gunung Merapi, 26 Oktober.  
Tak ada pengetahuan yang bisa mengontrol dan mengatur Merapi.
Secara tiba-tiba, Selasa, sekitar jam pukul 17.00, Merapi memuntahkan material perut bumi dan menghembuskan badai pyroclastic alias wedhus gembel ke arah selatan.
Meluluhlantahkan beberapa desa di Kecamatan Cangkringan dan menewaskan puluhan orang termasuk juru kunci Merapi, Mbah Maridjan atau Mas Panewu Surakso Hargo.
Letusan terbesar sepanjang sejarah Merapi dengan melampaui rekor letusan Merapi pada 1872 yang telah melontarkan 100 juta kubik material perut bumi. Menghilangkan nyawa 151 orang, 135 dari penduduk Yogyakarta dan 16 penduduk Jawa Tengah.
Pemerintah juga mengungsikan 379.422 penduduk dari Kabupaten Klaten, Magelang, Boyolali, Yogyakarta ke radius aman, 20 kilo meter dari puncak Merapi. 
Dinamika perkembangan meletusnya Gunung Merapi OktoberNovember itu, erat diiringi dengan persepsi dan sistem kepercayaan masyarakat yang tinggal di sekitar Merapi. Mereka mempunyai sistem kepercayaan sendiri mengenai lingkungan alam yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam pemikiran masyarakat lereng Merapi, masyarakat dan lingkungan alam dirasa saling tergantung, keselarasan di antara manusia tergantung pada keselarasan di dalam lingkungan. 
Sejak dahulu, ada spirit dan dorongan yang membuat masyarakat masih percaya dan betah tinggal di sekitar Gunung Merapi. Tapi, kini kearifan lokal masyarakat lereng Merapi dalam tanda tanya. Apakah orang Jawa masih mempercayai bahwa Gunung Merapi ada penunggunya? Dan apakah dengan kematian juru kunci Merapi, kepercayaan itu akan terus bertahan? 
Tampaknya pertanyaan getar-getir itulah yang membuat buku ini diterbitkan ulang. Semula buku ini merupakan skripsi sarjana antropologi pada Fakultas Sastra UGM Yogyakarta di bawah bimbingan Prof Michael R Dove Ph D, seorang pakar Antropologi Ekologi yang saat ini mengajar di Yale School of Forestry and Environmnettal Studies, Amerika.

Budaya Jawa 

Sistem kepercayaan terhadap Merapi merupakan salah satu unsur kebudayaan Jawa yang sangat kental karena bersistem turun-temurun sebagai ilmu pengetahuan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Struktur keseluruhan dari masyarakat, alam dan alam adikodrati tercipta selaras dan harmonis. Begitu pula struktur kosmos, dihayati sebagai hidup, berjiwa dan berhayat. Itulah jawaban Lucas untuk pelbagai pertanyaan getar-getir akan teredupnya kearifan lokal dan kepercayaan masyarakat Jawa. (halaman vi)
Menurut Lucas, kepercayaan itu tidak hanya terdapat pada orang Jawa yang tinggal di lereng Merapi, namun juga berlaku bagi masyarakat Jawa yang tinggal di perkotaan.
     Buktinya, ada upacara Labuhan ke Gunung Merapi untuk memperingati hari penobatan Sri sultan Hamengkubuwono (HB) sebagai raja Keraton Yogyakarta. Dalam acara itu, dipersembahkan udheng, pelana kuda dan kain panjang untuk para leluhur yang dipercaya bersemayam di Merapi.
     Bagian pertama buku ini membahas “Tiga Desa di Lereng Gunung Merapi“, yaitu desa Kawastu, Korijaya, dan Wukirsari. Di desa Korijaya inilah, Mbah Maridjan ditemukan jenazahnya dalam posisi sujud sembahyang. 
Sejarah pengangkatan seorang juru kunci Merapi terdapat dalam bagian ini. Kiai Wonodriyo adalah bekel (kepala desa) pertama Desa Korijaya. Karena Desa Korijaya sering dilalui rombongan Sultan HB VII untuk melaksanakan upacara Labuhan ke Gunung Merapi, maka Kiai Wonodriyo diangkat menjadi abdi dalem yang menjabat juru kunci Gunung Merapi (halaman 27).
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, pada 5 September 1945 Sultan HB IX mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia dan Sultan sebagai kepala daerah bertanggung jawab kepada Presiden.
Mulai saat itu, juru kunci Merapi terlepas dari jabatan kepala desa (halaman 28). Di bagian selanjutnya, Lucas tampak membahas mitologi asal-usul dan persepsi cikal bakal Gunung Merapi. Mulai dari makhluk halus Gunung Merapi, leluhur, dhanyang, lelembut, dan lain-lain. Menjadikan buku ini komplet sebagai sistem pengetahuan.
Selama ini, beberapa buku hanya menganalisis aspek manusia dari bahaya Merapi, meliputi bagaimana orang mengungsi dan bertransmigrasi. Alhasil, akhirnya merupakan buku pertama yang menganalisis gunung berapi di Indonesia dari segi manusia, bukan dari segi ekologi fisik. Buku ini mengajari kita hidup berinteraksi pada sesama manusia dan alam, demi terjaga kesatuan dan keselarasan kosmos.



Resensi ini dimuat di Suara Merdeka, edisi Minggu 26 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar