Sabtu, 26 Maret 2011

Mengkritik Salafi Wahabi



Oleh Wildani Hefni

Judul : Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama
Penulis : Syaikh Idahram
Penerbit : Pustaka Pesantren
Cetakan: I, 2011
Tebal : 280 halaman
ISBN : 602-8995-00-2

Dua ajaran berbeda namun bernaung dalam satu atap, mesti memunculkan sejumlah masalah. Salah satu kelompok Islam sendiri yang menjadi momok secara internal adalah faham Salafi Wahabi yang sering menyerang umat Islam dengan pelbagai dalil agama yang tidak pada tempatnya.
Dalam upaya untuk menarik simpat, kelompok Salafi Wahabi biasa mengusung platform dakwah yang sangat terpuji. Diantaranya, memerangi syirik, penyembahan berhala, pengkultusan kuburan dan membersihkan Islam dari bid’ah dan khurafat. Namun, mereka salah kaprah dalam penerapannya.
Jadinya, wabah takfir (pengkafiran), tasyrik (pemusyrikan), tabdi’ (pembid’ahan), tasykik (upaya menanamkan keraguan), benar-benar menjadi epidemi yang sangat memiriskan, memilukan sekaligus memalukan umat Islam. Buku Syaikh Idahram itu, selain memberikan informasi penting tentang sejarah berdirinya sekte Salafi Wahabi, menyediakan lorong dialektika-kritis bagi pembacanya, serta bagaimana mestinya kita menyikapi dan menjauhi atau bahkan mengakrabi gerakan itu.
Dari perspektif sejarah, buku itu menelisik tokoh-tokoh Salafi Wahabi luar Indonesia yang ikut andil dalam membumikan dan menyebarluaskannya. Selain Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, terdapat ulama-ulama saudi Arabia secara umum seperti Ibnu Baz, Ibnu Utsaima, dan Ibnu Fauzan, keturunan pendiri Wahabi yang dikenal dengan keluarga Alu Syaikh.
Juga, Muhammad Nasiruddin al-Albani (w. 2011), seorang ulama asal Albania yang tinggal di Jordania, dan Syaikh Muqbil Wadi’i di Yaman (w. 2002) serta Rabi al-Madkhali di Madinah (hal 41). Kehadiran para tokoh itu menyibukkan para Ulama, kiai, dan para da’i Indonesia. Belum lagi menghadapi tantangan akan faham-faham dari kelompok luar, mereka dihadapkan pada wabah dari dalam yang justru gencar menyerang sesama.
Kelompok Salafi Wahabi adalah pengikut Muhammad ibnu Abdul Wahab yang lahir di Uyainah, Najd, Saudi Arabia. Salafi Wahabi lahir di abad ke-18 atau 1.200 tahun setelah masa Rasulullah. Sementara di Indonesia, Salafi Wahabi mulai populer pada 1995 bersamaan dengan terbitnya majalah Salafi yang diprakarsai Ja’far Umar Thalib. Diantara faktor diterimanya paham Salafi Wahabi di Indonesia adalah medan dakwah nusantara yang berhadapan langsung dengan ajaran animisme, dinamisme dan pengaruh Hindu-Budha.
Ja’far Umar Thalib, sebagai perintis paham tersebut, disorot tajam dalam buku itu. Dalam penelitian Syaikh Idahram, mula-mula Ja’far Umar Thalib membawa ajaran Salafi Wahabi berfaksi Salafi Yamani. Dilihat dari kemiripan manhaj dakwahnya dengan beberapa pergerakan Islam Indonesia, Syaikh Idahram yakin bahwa “sebagian” Salafi Wahabi kali pertama masuk ke kawasan nusantara dibawa oleh beberapa ulama asal Sumatera Barat pada awal abad ke-19.
Mengapa hanya sebagian? Segelintir ulama Sumatera Barat tidak menelan penuh paham Salafi Wahabi, melainkan hanya mengambil spirit pembaharuannya saja. Pada 1803 hingga sekitar 1832, gerakan Salafi Wahabi ini tampak lentur karena bisa menyesuaikan dan mengalami kulturisasi dengan budaya lokal sehingga mudah diterima masyarakat.
Pada titik kulminasinya, setelah paham itu menyebar, wabah takfir, tasyrik, tabdi’, dan tasykik, begitu gampang ditempelkan sesama kaum muslimin. Mereka kian gampang mencela kaum muslimin yang tidak sekelompok, khususnya para ulama dan da’i, serta menyematkan gelar-gelar buruk dari hasil terkaan “ijtihad” mereka sendiri.
Buku itu hadir untuk menyingkap akan bahaya dan modus operasi Salafi Wahabi dalam membumikan ajarannya. Bisa dikatakan, belum ditemukan karya setajam ini sebelumnya dalam mengkritik Salafi Wahabi. Buku tersebut tidak diniatkan untuk semakin memecah belah persatuan umat Islam yang sedang meradang, melainkan untuk membentengi dan menyadarkan umat Islam dari ketersesatan, kemudian bersatu padu membangun kembali peradaban umat yang dahulu pernah berjaya. 


Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah, IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di Jawa Pos, Minggu, 27 Maret 2011



Jumat, 25 Maret 2011

Pelangi Toleransi dari Melbourne


Oleh  Wildani Hefni

Judul : Pelangi Melbourne, Dua Dunia Satu Cinta
Penulis : Zuhairi Misrawi
Penerbit : Buku Kompas
Tahun : I, Januari 2011
Tebal : viii + 552 halaman
Harga : Rp54. 000

Sekilas melihat sampul buku mungil ini, kita akan terpesona dengan keindahan warna pelangi yang menghias kota Melbourne. Novel ini berkisah tentang pemuda Indonesia jebolan salah satu perguruan tinggi Islam di daerah Jakarta Selatan, yang sedang menjalani kursus Bahasa Inggris di Hawthorn English Language Centre, Melbourne, Australia.
Namanya Zaki Mubarok. Di Melbourne, Zaki hanya sebatang kara. Tak ada seorang pun teman asal Indonesia. Hari pertama menginjakkan kaki di Hawthorn, ia berkenalan dengan seorang perempuan bertubuh mungil, namanya Diana Lee, perempuan beragama Katolik dari Korea Selatan. Perkenalan pertama, Diana secara panjang lebar berbagi kisah tentang agama dengan Zaki. Diana sangat mengagumi Zaki karena Zaki begitu hormat (respect) walaupun beda agama.
Tak hanya berbincang masalah agama, Zaki dan Diana terlampau menembus batas-batas primordial dan identitas kultural. Keduanya memunyai latar belakang kebangsaan dan agama yang berbeda namun disatukan oleh semangat untuk menimba ilmu sebagai bekal masa depan. Lebih dari itu, Zaki seakan menemukan teman sejati. Teman yang bisa diajak curhat dan berbagi wawasan walaupun beda agama, beda ras, dan beda bangsa.
Begitu juga dengan Diana, ia merasa Zaki adalah karunia Tuhan yang tidak ternilai. Berawal dari perjanjian untuk mencari buku di Melbourne Central, Zaki dan Diana tampak lebih akrab. Percakapan antara keduanya tak hanya disatukan oleh persahabatan, tapi juga idealisme dan cita-cita peradaban yang adiluhung. Di Melbourne Central itulah, Zaki mengungkapkan perasaan cintanya kepada Diana, “I love you so much”, ungkap Zaki. Sementara Diana, juga tak mampu menyimpan ketertarikannya kepada Zaki.
Akhirnya, dua insan yang berbeda agama dan kebangsaan itu terikat dalam tali cinta. Hampir tiga bulan, hubungan Zaki dan Diana tambah erat dan lengket. Namun keduanya dalam kegamangan. Perbedaan agama dan kebangsaan mutlak diakui menjadi kendala yang akan menghalangi hubungan keduanya. Walaupun demikian, cinta keduanya adalah cinta produktif, bukan possesif, platonis, dan bukan konsumtif.
Novel pertama garapan intelektual muda Indonesia ini, Zuhairi Misrawi—yang lebih akrab dengan sapaan Gus Mis—mampu mendatangkan arti cinta sesungguhnya dan mengampanyekan toleransi. Tradisi, agama dan kultur tak bisa menghalangi rasa cinta karena cinta adalah komunikasi.
Dengan latar Melbourne sebagai kota multikulturalisme, novel ini memelopori gerakan dipelbagai dunia agar setiap orang memunyai kepedulian terhadap orang lain, apa pun perbedaan bangsa, agama, ras, suku, budaya, dan bahasa.

Dimuat di Koran Jakarta, Kamis 17 Maret 2011

Kerangka Islami Konstitusi Indonesia


Oleh Wildani Hefni

Judul : Syarah Konstitusi UUD 1945 Dalam Perspektif Islam
Penulis : Masdar Farid Masudi
Penerbit : Pustaka Alvabet, Jakarta
Cetakan : I, Desember 2010
Tebal : xxxi + 198 halaman

                Kekerasan demi kekerasan terus menghantui negara kita. Penganut agama yang satu saling bersitegang dengan penganut agama lain dengan mengklaim diri paling benar. Bahkan, sesama agama seperti Islam, berlomba-lomba mewujudkan keyakinannya.
Akar dari kekerasan yang dilakukan sekelompok orang terhadap kelompok minoritas di Indonesia adalah pertarungan ideologi antara Islam transnasional dan Islam kebangsaan. Sebagian kelompok memperjuangkan formalisasi syariat Islam dengan keinginan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Pada tahun 2006, ada tiga gerakan yang menginginkan syariat Islam yaitu Hisbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Komite Persiapan Pemberlakuan Syariat Islam (KPPSI). Sebelumnya, saat reformasi 1998 sampai Agustus 2002, gerakan politik resmi di DPR/MPR juga menghendaki agar Indonesia menjadi negara Islam dengan menjadikan piagam Jakarta sebagai dasar negara.
Tidak sedikit kalangan yang menganggap konstitusi Indonesia begitu berlawanan jauh dari nilai-nilai Islam. Mereka melihat secara sosiologis bahwa umat Islam di Indonesia adalah mayoritas sehingga harus menjadi negara Islam.
Di benak kita, timbul satu pertanyaan, apakah fondasi negara Indonesia sudah sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang multi agama, multiras, multietnis dan multibudaya?
Buku berjudul Syarah Konstitusi UUD 45 dalam Perspektif Islam, karya Masdar Farid Mas'udi, menawarkan pendekatan kultural yang produktif dan konstruktif khususnya dalam pengisian nilai-nilai keindonesiaan dalam kerangka Pancasila dan UUD 45. Buku ini adalah suatu upaya untuk menjawab akan kegelisahan beberapa kalangan terutama sebagian umat Islam yang kerap muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Masdar menjelaskan, para pendiri bangsa ini, tidak sembarangan dalam upaya membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka mempelajari berbagai konstitusi negara-negara yang mapan seperti Amerika Serikat, Jepang, Prancis, Inggris, Jerman dan Belanda guna menyusun sebuah konstitusi sebagai way of life berbangsa dan bernegara.
Para founding fathers membentuk undang-undang di atas bangsa yang majemuk. UUD 45 dengan mukaddimahnya mengandung lima sila Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara yang sudah final dengan kekhasan tata nilai masyarakat Indonesia sendiri.
UUD 45 berdiri di negara Indonesia yang berpenduduk mayoritas Islam, memang seyogyanya menampilkan kesesuaian antara nilai-nilai substantif keislaman dan nilai-nilai dasar konstitusi.
Dengan begitu, umat Islam Indonesia diharapkan tidak lagi melihat kesenjangan antara keislaman dan keindonesiaan. Ini begitu penting mengingat pelbagai kesenjangan dalam pekan terakhir ini marak terjadi di Indonesia, khususnya dalam masalah kerukunan antar umat beragama.
Masdar menguraikan, dalam pembukaan UUD 1945 tertulis: bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Kata kemerdekaan diartikannya berasal dari kata merdeka yang dalam bahasa arabnya adalah hurriyah atau istiqlal, antonimnya adalah tertekan (mukrah) atau terjajah (mustabad). Hurriyah bukan kemerdekaan sesuka hati. Namun, manusia secara sadar bebas memilih untuk mempercayai atau tidak kepada sesuatu. Sesuai dengan ajaran Islam yang tertuang dalam QS. Yunus 99 dan QS. Al-baqarah 256. Sama halnya dengan kata: Ketuhanan yang Maha Esa. Semua agama pada dasarnya mengajarkan ke-esaan Tuhan (tauhid). Bersama dengan konsep lain, konsep ketuhanan yang maha esa ini membentuk satu kesatuan dasar negara republik Indonesia yang dikenal dengan pancasila.
Secara harfiah, berarti lima dasar atau dengan istilah fikih Islam adalah al-kulliyat al-khams bagi bangsa Indonesia yaitu Ketuhanan yang Maha Esa sebagai landasan spritual, Kemanusian yang Adil dan Beradab sebagai landasan moral dan etik, Persatuan Indonesia sebagai landasan sosial, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah dalam Permusyawaratan Perwakilan sebagai acuan politik dan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia sebagai tujuan bersama dalam bernegara.
Akhirnya, buku ini dapat menyadarkan kita bahwa tantangan yang kita hadapi bukanlah memperjuangkan formalisasi negara Islam, melainkan bagaimana merealisasikan nilai dan aturan konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara adil, jujur, damai dan konsekuen.


Dimuat di Jurnal Nasional, Rabu, 09 Maret 2011

Bersekolah dengan Air Mata


Oleh Wildani Hefni

Judul : Nak, Maafkan Ibu Tak
Mampu Menyekolahkanmu
Penulis : Wiwid Prasetyo
Penerbit : Diva Press
Tahun : I, 2010
Tebal : 402 halaman
Harga : Rp46. 000
Sekilas melihat judul buku ini, refleks mesti kita ingat pepatah “kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang masa”. Tak ada orang tua yang menginginkan anaknya bodoh. Sungguh besar keinginan orang tua untuk membebaskan anaknya dari kungkungan kebodohan. Tentu jalan itu tak lain melalui pendidikan. Pendidikan adalah pendongkrak pemanusiaan manusia untuk selanjutnya diejawantahkan dalam ruang nyata. Naluri hewani juga akan terkikis oleh pendidikan.
Namun, apa jadinya, jika ribuan dan bahkan jutaan generasi muda yang memiliki kecerdasan luar biasa, memiliki prestasi yang menggunung dan motivasi serta etika yang membanggakan, tak mampu mengenyam pendidikan? Generasi muda yang kreatif, inovatif dan bahkan visioner yang siap menjadi pionir di bidangnya masing-masing, tidak memperoleh pendidikan yang benar-benar mampu memberdayakan? Bisa dipastikan mereka tak mampu untuk merealisasikan harapan dan mimpi-mimpinya.
Banyak faktor yang menyebabkan anak muda tak bisa mengenyam pendidikan. Bisa saja anak kaum mampu namun tak ada keinginan, ada juga anak kaum mampu namun lebih senang terjun dalam dunia bisnis. Sementara novel ini hadir menceritakan seorang Wenas, bocah miskin yang hidup dengan segala penderitaan.
Dalam kesehariannya, dia selalu menjerit kelaparan, merasakan kesakitan, perutnya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum.  Kelaparan sudah menjadi teman hidupnya. Dia hidup bersama seorang ibu yang juga tak memunyai pekerjaan. Ladang sawahnya gagal panen.  Tidak ada ayah, yang ada hanyalah Raga, sosok berpendidikan yang selalu memberikan semangat pada Wenas. Kemauan keras dan usaha untuk dapat mengenyam pendidikan, selalu menggema di hati Wenas.
Siapa sangka, dengan usaha yang kuat dari Wenas dan ibu semata wayangnya, ia mampu tersenyum untuk bisa sekolah. Kain sisa berwarna merah dan putih yang tidak terpakai, dijahit untuk dipakai seragam sekolah.
Kisah pilu Wenas ternyata tak berhenti, walaupun ia bisa meraih cita-cita tinggi untuk sekolah, ia kembali merasakan sebagai seorang siswa yang sedang mengais ilmu di sekolah hantu. Sebuah lembaga yang tentu menjadi momok bagi murid seperti Wenas karena biaya yang sangat tinggi.
Sekolah Semesta yang begitu angkuh dan hidup dari kebohongan, dibangun di atas puing-puing keserakahan, semangat kapitalisme untuk mengeruk banyak uang tanpa memperhatikan unsur pendidikan.
Melihat kenyataan itu, Wenas hanya bisa meneteskan air mata. Sekolah yang ia tempati membawa masalah pelik, menambah beban pikirannya. Bagi saya, novel ini mendatangkan pertanyaan, mengapa tak dibedakan antara si kaya dan si miskin? Mengapa tidak ada kompromi untuk orangorang miskin yang ingin mendapatkan pendidikan? Di mana letak keadilan kalau seperti ini?

Dimuat di Koran Jakarta, Jum’at, 17 Maret 2011

Lapis Hidup Manusia Merapi


Oleh Wildani Hefni

Judul: Merapi dan Orang Jawa, Persepsi dan Kepercayaannya
Penulis: Lucas Sasongko Triyoga
Penerbit: Grasindo, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: xxiv + 232 halaman
Siapa sangka alam bisa “emosi“ menyembur dan menggeliat tak ada yang bisa mengontrol? Siapa mengira alam menyampaikan pesan dengan pola dan gaya letusan? Jawabanya, ada di alam itu sendiri, termasuk juga dalam letusan Gunung Merapi, 26 Oktober.  
Tak ada pengetahuan yang bisa mengontrol dan mengatur Merapi.
Secara tiba-tiba, Selasa, sekitar jam pukul 17.00, Merapi memuntahkan material perut bumi dan menghembuskan badai pyroclastic alias wedhus gembel ke arah selatan.
Meluluhlantahkan beberapa desa di Kecamatan Cangkringan dan menewaskan puluhan orang termasuk juru kunci Merapi, Mbah Maridjan atau Mas Panewu Surakso Hargo.
Letusan terbesar sepanjang sejarah Merapi dengan melampaui rekor letusan Merapi pada 1872 yang telah melontarkan 100 juta kubik material perut bumi. Menghilangkan nyawa 151 orang, 135 dari penduduk Yogyakarta dan 16 penduduk Jawa Tengah.
Pemerintah juga mengungsikan 379.422 penduduk dari Kabupaten Klaten, Magelang, Boyolali, Yogyakarta ke radius aman, 20 kilo meter dari puncak Merapi. 
Dinamika perkembangan meletusnya Gunung Merapi OktoberNovember itu, erat diiringi dengan persepsi dan sistem kepercayaan masyarakat yang tinggal di sekitar Merapi. Mereka mempunyai sistem kepercayaan sendiri mengenai lingkungan alam yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam pemikiran masyarakat lereng Merapi, masyarakat dan lingkungan alam dirasa saling tergantung, keselarasan di antara manusia tergantung pada keselarasan di dalam lingkungan. 
Sejak dahulu, ada spirit dan dorongan yang membuat masyarakat masih percaya dan betah tinggal di sekitar Gunung Merapi. Tapi, kini kearifan lokal masyarakat lereng Merapi dalam tanda tanya. Apakah orang Jawa masih mempercayai bahwa Gunung Merapi ada penunggunya? Dan apakah dengan kematian juru kunci Merapi, kepercayaan itu akan terus bertahan? 
Tampaknya pertanyaan getar-getir itulah yang membuat buku ini diterbitkan ulang. Semula buku ini merupakan skripsi sarjana antropologi pada Fakultas Sastra UGM Yogyakarta di bawah bimbingan Prof Michael R Dove Ph D, seorang pakar Antropologi Ekologi yang saat ini mengajar di Yale School of Forestry and Environmnettal Studies, Amerika.

Budaya Jawa 

Sistem kepercayaan terhadap Merapi merupakan salah satu unsur kebudayaan Jawa yang sangat kental karena bersistem turun-temurun sebagai ilmu pengetahuan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Struktur keseluruhan dari masyarakat, alam dan alam adikodrati tercipta selaras dan harmonis. Begitu pula struktur kosmos, dihayati sebagai hidup, berjiwa dan berhayat. Itulah jawaban Lucas untuk pelbagai pertanyaan getar-getir akan teredupnya kearifan lokal dan kepercayaan masyarakat Jawa. (halaman vi)
Menurut Lucas, kepercayaan itu tidak hanya terdapat pada orang Jawa yang tinggal di lereng Merapi, namun juga berlaku bagi masyarakat Jawa yang tinggal di perkotaan.
     Buktinya, ada upacara Labuhan ke Gunung Merapi untuk memperingati hari penobatan Sri sultan Hamengkubuwono (HB) sebagai raja Keraton Yogyakarta. Dalam acara itu, dipersembahkan udheng, pelana kuda dan kain panjang untuk para leluhur yang dipercaya bersemayam di Merapi.
     Bagian pertama buku ini membahas “Tiga Desa di Lereng Gunung Merapi“, yaitu desa Kawastu, Korijaya, dan Wukirsari. Di desa Korijaya inilah, Mbah Maridjan ditemukan jenazahnya dalam posisi sujud sembahyang. 
Sejarah pengangkatan seorang juru kunci Merapi terdapat dalam bagian ini. Kiai Wonodriyo adalah bekel (kepala desa) pertama Desa Korijaya. Karena Desa Korijaya sering dilalui rombongan Sultan HB VII untuk melaksanakan upacara Labuhan ke Gunung Merapi, maka Kiai Wonodriyo diangkat menjadi abdi dalem yang menjabat juru kunci Gunung Merapi (halaman 27).
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, pada 5 September 1945 Sultan HB IX mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia dan Sultan sebagai kepala daerah bertanggung jawab kepada Presiden.
Mulai saat itu, juru kunci Merapi terlepas dari jabatan kepala desa (halaman 28). Di bagian selanjutnya, Lucas tampak membahas mitologi asal-usul dan persepsi cikal bakal Gunung Merapi. Mulai dari makhluk halus Gunung Merapi, leluhur, dhanyang, lelembut, dan lain-lain. Menjadikan buku ini komplet sebagai sistem pengetahuan.
Selama ini, beberapa buku hanya menganalisis aspek manusia dari bahaya Merapi, meliputi bagaimana orang mengungsi dan bertransmigrasi. Alhasil, akhirnya merupakan buku pertama yang menganalisis gunung berapi di Indonesia dari segi manusia, bukan dari segi ekologi fisik. Buku ini mengajari kita hidup berinteraksi pada sesama manusia dan alam, demi terjaga kesatuan dan keselarasan kosmos.



Resensi ini dimuat di Suara Merdeka, edisi Minggu 26 Desember 2010