Jumat, 25 Maret 2011

Manuver Kebijakan Radikal


                Oleh Wildani Hefni

Kasihan bangsa yang negarawannya srigala, filosofinya gentong nasi. (Kahlil Gibran). Rencana pembatasan subsidi bahan bakar minyak oleh pemerintah yang akan diberlakukan per 1 Januari 2011 cukup mencengangkan. Opsi yang dipilih juga membawa kita pada hyper-reality politics, yaitu kendaraan pribadi roda empat dilarang menggunakan BBM bersubsidi.
Tentu kebijakan itu membuat kelompok kelas menengah getar-getir karena mesti merogoh kocek berlebih untuk menopang mobilitas mereka.
Di antara opsi yang diajukan, pelarangan subsidi BBM untuk kendaraan pelat hitam seakan menjadi kebijakan yang dipikirkan dengan ”pantat”, bukan dengan ”kepala”. Padahal, kalau mau dikaji lebih dalam, tidak semua kendaraan pelat hitam itu kendaraan pribadi dan milik kalangan atas.
Wacana ini sama sekali tidak mempertimbangkan dampak multiplier yang akan terjadi pada jenis kendaraan pelat hitam. Tampak sebuah ”pesan” di dalamnya yang sangat subyektif karena mencakup soal reputasi dan kredibilitas yang tidak ada patokan harganya.
Selain itu, kebijakan ini akan mengandung beberapa disparitas. Pertama, akan memicu distorsi di bidang ekonomi, sosial, bahkan di sektor transportasi. Mesti akan terjadi migrasi pengguna kendaraan pribadi roda empat menjadi pengguna sepeda motor. Jika pengguna mobil dilarang menggunakan BBM bersubsidi, mereka rela ”konversi” menjadi bikers alias pengguna sepeda motor. Fenomena migrasi ini sangat rasional, mengingat selisih harga BBM bersubsidi dengan BBM nonsubsidi sangatsignifikan.
Kedua, pengusaha angkutan umum akan beralih profesi menjadi ”pengusaha premium”. Mereka akan ”menimbun” premium di rumah mereka kemudian dijual kepada pemilik kendaraan pribadi roda empat.
Sementara pemerintah berdalih, undang-undang tentang APBN 2011 mengamanatkan volume BBM bersubsidi dibatasi sama dengan konsumsi tahun ini, sekitar 38 juta kiloliter. Tanpa pengendalian, konsumsi diperkirakan mencapai 42 juta kiloliter. Dengan membatasi BBM, pemerintah bisa menekan subsidi Rp 3,8 triliun pada tahun 2011. Sampai tahun 2013 diperkirakan mencapai Rp 20,7 triliun.
Ironis. Tidak ada negara yang menerapkan model demikian. Kalau niat pemerintah hanya ingin menekan subsidi BBM yang jumlahnya hanya sekitar Rp 10 triliun-Rp 12 triliun, pemerintah cukup menaikkan harga BBM Rp 300 per liter.
Secara matematis, wacana ini menguntungkan karena mampu menghemat BBM sampai 11 juta kiloliter seperti yang dipaparkan Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita Legowo. Namun, penghematan bukan berarti solusi satu-satunya yang terbaik. Apalagi jika hal tersebut menyangkut transportasi massal yang secara kuantitatif mampu menyerap permintaan transportasi penumpang yang cukup besar dan tidak akan terpenuhi oleh kendaraan pribadi.
Ini jelas merupakan stupid policy yang diperalat pemerintah dengan menjadikan BBM sebagai ”sandera politik” untuk memperkukuh kekuasan mereka, sebagaimana rezim Presiden Soeharto dahulu.
Seharusnya Presiden berani bermanuver dengan kebijakan radikal, yang prolingkungan global, mengembangkan sarana transportasi publik massal, dengan mewujudkan prinsip welfare state.

Tulisan ini dimuat di Kompas Jateng, edisi Jum’at 24 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar