Sabtu, 23 April 2011

Teks yang Mengabadi

Oleh Wildani Hefni

Al-khattu yabqa zamanan wa katib al- khatti tahta al-ardhi madfunun, karya-karya tulis akan kekal sepanjang masa sementara penulisnya hancur terkubur dibawah tanah air. 

Dalam bulan April ini, ada dua tokoh yang patut kita kenang akan jasa-jasanya. Pertama, Bung Rosihan Anwar yang telah meninggalkan kita pada Kamis, 14 April 2011 dalam usia 89 tahun. Seorang jurnalis kenamaan yang mampu tampil kritis dan memberikan pencerahan bagi masyarakat. Ia lewat tulisan-tulisannya, mampu menjadikan dunia pers sebagai dunia edukasi. Teks-teks yang diolah mengejewantah menjadi tumpuan kritis terhadap kekuasaan yang mencokol.

Kedua adalah Raden Ajeng Kartini. Seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Lahir di Jepara, pada 21 April 1879.  Lewat surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda, kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya. Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Teks surat itu menjadi pendorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Teks-teks yang ditulis Kartini mampu membuka penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. 

Dari kedua tokoh tersebut, bisa ditarik benang merah bahwa teks atau tulisan memang mengabadi. Bung Rosihan Anwar dan Raden Kartini boleh saja telah meninggalkan kita lebih dulu, namun hasil uraian dan gagasan-gasannya yang tertuang dalam teks begitu melekat dan terus mengenang dalam memberikan edukasi bagi masyarakat umum.

Lewat tulisan, manusia dapat mengekspresikan segenap kemampuan berpikir. Dunia menulis merupakan jalan awal untuk mendedah pelbagai kegincuan di negeri ini. Menulis merupakan suatu profesi yang tak akan lekang oleh batasan usia, tak mengenal “konversi” dari lorong media. Apalagi dunia jurnalisme telah mempu menjadi pilar keempat demokrasi. Posisi media sebagai ladang basah untuk mengejewantahkan segala ruh jurnalisme, begitu strategis yang sanggup menyedot perhatian ribuan pasang mata.

Lewat surat kabar Pedoman, Rosihan Anwar mampu dikenang oleh zaman. Surat kabar yang cenderung memihak partai sosialis ini menjadi koran yang paling populer karena sering tampil dengan berbagai inovasi, bukan saja dalam gaya pemberitaan dan tajuk rencana, melainkan juga dalam pengenalan kata-kata baru. Surat kabar yang selalu menjadi tumpahan teks Rosihan Anwar, menjelma akan tumbuhnya koran minggu dan edisi untuk anak-anak. Rosihan juga menerbitkan majalah Siasat, yang seakan-akan disengaja untuk kaum terpelajar, karena lebih mengutamakan analisa politik dan ekonomi serta pemikiran sosial-kultural. 

Tulisan-tulisan yang pernah menjadi bahan perjuangan tokoh masa lalu, sudah saatnya kita warisi dengan tulisan-tulisan dan gagasan gagasan produktif masa kini. Ini penting untuk menjadi estafet mata rantai intelektual (intelectuall linkages) dalam skala luas. Harus kita akui bahwa teks akan mengabadi walapun authornya (penulis) sudah kembali kepada kehidupan yang abadi. 

Di dunia media massa berlaku formula global, only the knowledge journalists can provide the knowledge media for the knowledge society, hanya dunia jurnalis yang mampu memberikan sisi edukasi bagi masyarakat umum. Tulisan adalah seperangkat wujud pengabdian dan upaya memberikan sumbangsih pemikiran sebesar-besarnya demi kepentingan masyarakat, kepentingan peradaban. 

Pesan Bill Ryan, wartawan The Hartford Courant, cukup mencengangkan. Pesan itu  “sepintar apapun orang dan sesakti apapun dia akan dilupakan sejarah kalau tidak punya karya, termasuk karya tulis”. Pesan tersebut harus kita letakkan dalam “saku” untuk meneruskan perjuangan keras para founding fathers kita dalam mewujudkan negara Indonesia ini. 

Dengan tulisan, intelektualitas, agresifitas, dan idealitas akan tampak dan abadi. Dalam pepatah latin diungkapkan: scripta manent, verba volent. Dokumentasi tulisan bersifat abadi dan dapat dibaca berulang-ulang sehingga daya jangkau penyampaiannya bisa mengenai lebih banyak kalangan. Keistimewaan agitasi dalam rangkaian tulisan mampu memengaruhi massa lebih besar karena daya jangkaunya lebih mengemuka. Karena itu, menulis adalah kegiatan perenial untuk keabadian. Tulisan merupakan raga dari ide dan gagasan yang diejewantahkan dalam wadah kreatifitas untuk mengikis menjelma menjadi lorong pemberontakan.

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 24 April 2011

Jumat, 15 April 2011

Kajian Kritis Konsep Negara Islam


Oleh Wildani Hefni

Judul : Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam
Penerbit : Pustaka Alvabet
Penulis : Dr. Abdul Aziz, MA
Tahun : I, Maret 2011
Tebal : xix + 398 halaman

Beberapa tahun silam, marak kita dengar gaung pengusung konsep khilafah. Sebuah pertarungan ideologi antara Islam transnasional dan Islam kebangsaan. Sebagian kelompok memperjuangkan formalisasi syariat Islam dengan keinginan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.

Pada tahun 2006, tiga gerakan resmi menginginkan hal itu adalah Hisbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Komite Persiapan Pemberlakuan Syariat Islam (KPPSI). Sementara kabar santer yang tengah berhembus dewasa ini adalah munculnya dewan revolusi Islam di Indonesia. 

Secara konsepsional, banyak kalangan yang salah paham tentang negara Islam. Mereka menghendaki identitas Islam muncul dalam perundangan yang mewajibkan kaum muslim menjalankan syariat Islam, setidaknya seperti yang tertuang dalam Piagam Jakarta. Tak ayal, perdebatan tarik-menarik antara negara agama dan negara sekuler kian meruncing.

Buku berjudul Chiefdom Madinah; Salah Paham Negara Islam ini tampil dengan pendekatan dan metode interpretasi historis-sosiologis untuk mendedah persoalan agama (Islam) dalam sistem negara. Menyuguhkan pandangan baru dengan memaparkan secara proporsional kontribusi Islam bagi pembentukan negara pada masa-masa awal. Secara konseptual, buku ini berseberangan dengan pemahaman normatif-ideologis atas sejarah Islam awal yang menempatkan negara Islam sebagai tipe ideal bentuk negara yang wajib dibangun kembali oleh umat Islam dewasa ini. 

Kajian khazanah politik Islam ini, menampilkan diskursus negara dan agama dalam tiga pandangan. Pertama, pandangan yang mewajibkan pendirian negara Islam yang tidak boleh tidak negara secara resmi harus berwujud negara Islam yang tunduk pada syariat Islam. Kedua, pandangan sekuler dengan memisahkan negara dan agama. Ketiga, pandangan akan internalisasi nilai-nilai Islam dalam bernegara dengan konsep kombinasi nilai-nilai Islam dalam praktek bernegara tanpa menyematkan negara Islam atau negara sekuler. 

Secara detail, buku ini mengulas tuntas akan ciri dan alasan dari tiga pandangan tersebut. Abdul Aziz dengan jeli meneliti akar pewacanaan dan ideologisasi negara Islam. Ideologisasi negara Islam berawal dari krisis legitimasi menyangkut kekuasaan imamah (pemimpin) dan kesatuan ummah (rakyat). Sebagai respons terhadap situasi ini, Ibnu Taimiyah tampil sebagai pemikir muslim yang pertamakali menjadikan penegakan syariat Islam sebagai fokus pembahasan fikih politik. Ibnu Taymiyah memandang perlu untuk merumuskan syariat Islam yang murni. (hal 148)

Realita sekarang menunjukkan, bahwa krisis legitimasi kesatuan imamah dan kesatuan ummah masih terus berlanjut hingga kini. Tak ayal, klaim kontestasi pemurniaan negara Islam kian menggema. Abdul Aziz mengelaborasi tiga pandangan tersebut dalam benang merah yang terdapat pada bab lima. Ia menegaskan,  kehadiran Islam telah menjadi pendorong sentripetal bagi masyarakat Arab di Semenanjung Arabia dalam proses menuju suatu negara (pre-state). Tapi bukan menjadi pemeran dan penyumbang satu-satunya karena tradisi jahiliyah juga turut andil. (hal 214-217)

Islam dan tradisi kultur serta konteks kebangsaan sama-sama berperan. Kesemuanya bisa mengentaskan masyarakat yang semula tak bernegara (stateless) menuju masyarakat dengan sebentuk pranata kekuasaan terpusat, disebut dengan “chiefdom”. Dengan itu, bisa dipahami bahwa dalam proses bernegara sangatlah penting untuk mengembangkan demokrasi politik dengan landasan nilai-nilai Islam tanpa harus menggaung dengan konsep negara Islam. Lebih-lebih Indonesia dengan konsep Pancasila, sebuah ideologi bangsa yang bukan produk agama namun nilai-nilai agama harus terpatri sebagai cerminan moral.

Buku ini tepat dibaca untuk memberikan ruang dialektis-kritis. Juga untuk menyadarkan golongan yang mengusung konsep negara Islam, bahwa persepsi mereka mengabaikan realitas sosiologis masyarakat arab waktu dulu. Berdasar data sejarah dan realiatas sosial, buku ini merekonstruksi secara halus dengan format teoritik tentang pertautan antara Islam dan pembentukan negara. Maka tawaran yang diusulkan buku ini bahwa tugas kita adalah merealisasikan secara akomodatif identitas keislaman. Sepanjang para aspirasinya dapat mengengolkannya secara konstitusional, gagasan itu patut untuk diperjuangkan.

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di Majalah GATRA, No. 23 Tahun XVII, 14 - 20 April 2011

Sabtu, 02 April 2011

Indonesia, Bung Karno, dan Malaysia



Oleh Wildani Hefni

Judul Buku : Ganyang Malaysia: Politik Konfrontasi Bung Karno
Penulis : John B. Sriyanto
Penerbit : Interpre Book, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 110 halaman

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat. Namun dibalik kekuatan itu, Indonesia masih saja dipermainkan oleh bangsa lain yang jelas-jelas lebih kecil dari bangsa Indonesia. Misalnya, Malaysia yang kerap kali menumbuhkan gesekan dan konflik. Ada beberapa perkara yang timbul di Malaysia yang dilakukan terhadap orang Indonesia. Sebut saja penganiyaan TKI, pencaplokan Sempadan dan Ligitan, pembajakan lagu-lagu seperti Terang Bulan dan Rasa Sayange, pengambilan tari Pendet (Bali), Kuda Kepang dan Reog Ponorogo, untuk dimanfaatkan demi kepentingan pariwisata Malaysia. Kemudian penangkapan pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan serta peristiwa lainnya. Ini semua membuktikan Malaysia sebagai negara tetangga tak mampu mengkampanyekan hidup rukun dengan Indonesia.
Sementara publik Indonesia tentu tidak menerima akan pelecehan yang terus digempurkan Malaysia. Semua orang Indonesia, massa tua-muda, pria-wanita, seniman-seniwati, karyawan dan termasuk para politisi memprotes keras yang dituangkan dalam demonstrasi di berbagai tempat dan kota.
Malaysia yang oleh orang Indonesia disebut negeri “jiran”, memang dari dulu kala menjadi momok tersendiri bagi bangsa Indonesia. Dalam perjalanan sejarah, selain harus memerdekakan diri dari penjajahan Belanda yang amat diskriminatif, Indonesia juga harus keluar dari cengkraman Malaysia. Cengkraman itu berupa ancaman yaitu pembentukan negara federasi Malaysia yang diprakarsai imperealis Inggris dengan slogan nekolim (neokolonisme dan imperealisme) untuk membentuk sebuah negara boneka.
Indonesia dibawah pimpinan Bung Karno menentang pembentukan negara federasi Malaysia yang terdiri dari Semananjung Tanah Melayu, Singapura, Sabah dan Serawak, hingga kemudian Bung Karno menggemakan politik konfrontansi dengan semboyan “Ganyang Malaysia”. Presiden pertama RI itu sangat gusar ketika dalam demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur pada 17 Desember 1963 para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek- robek foto Soekarno, dan membawa lambang Garuda Pancasila ke hadapan PM Malaysia waktu itu, Tengku Abdul Rahman, dan memaksanya menginjak lambang Garuda tersebut.
Istilah “konfrontasi” dipopulerkan Menteri Luar Negeri Soebandrio pada 20 Januari 1963. Sikap bermusuhan terhadap Malaysia kemudian dipertegas oleh Presiden Soekarno lewat diumumkannya perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1963. Maka dengan semangat militansi, Bung Karno meneriakkan ganyang Malaysia.
Buku karya John B. Srijanto dengan detail mengurai akan tindakan yang diambil Bung Karno tersebut. Menurut John, langkah konfrontasi Bung Karno didasarkan pada rasa bertanggung jawab oleh kewajiban moral untuk membebaskan dan memerdekakan rakyat di kawasan Semenanjung Tanah Melayu, termasuk Singapura, Sabah, dan Serawak di Kalimantan Utara dari penjajah Inggris. Inggris dengan memanfaatkan Malaysia sengaja ingin menciptakan kekuatan yang dapat mengancam Indonesia.
Bung Karno dengan jeli memahami pesan tersirat yang diamanatkan oleh filsafah Pancasila yang tertuang dalam pembukaan Undang-undang dasar Republik Indonesia alenia pertama. Alenia itu tak lain adalah “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”. Ini tampak diformulasikan oleh Bung Karno dengan semangat perjuangan gigih dan tangguh. Berbanding arah dengan pemimpin masa kini, jika ada konflik antar negara hanya diam tak berkutik. Yang ada hanyalah tampilan semu belaka yang berjiwa paternalistik. Sungguh sikap pemimpin yang tidak memiliki keberanian laiknya pemimpin Indonesia kali pertamanya.
Bung Karno meneriakkan slogan ganyang Malaysia tak lain untuk mempertahankan harga diri bangsa, baik dimata Malaysia yang merupakan boneka Inggris maupun dimata dunia internasional. Maka tak heran, dalam pidatonya Bung Karno selalu mengatakan, kalau Malaysia mau konfrontasi ekonomi, kita hadapi dengan konfrontasi ekonomi, jika Malaysia konfrontasi politik hadapi dengan politik. Jika Malaysia dengan konfrontasi militer, kita hadapi dengan militer.
Model mengganyang Malaysia ala Bung Karno patut untuk kita contoh dewasa ini. Buku ini cukup jeli meneliti langkah-langkah Bung Karno untuk mencegal pembentukan federasi Malaysia dari produk nekolim. Bung Karno menyingsingkan tangan baju lalu menggoncang seantero bumi, khususnya kawasan Asia Tenggara untuk menggagalkan rencana Malaysia tersebut. Bung Karno tak langsung berdemonstrasi namun mula-mula berdialog langsung dengan pendiri federasi Malaysia, Tengku Abdul Rahman Putra al-Hajj. Kemudian perlahan Bung Karno menormalkan kembali dengan menghentikan konfrontasi dan hubungan bilateralpun menjadi baik.
Buku ini menarik dibaca karena selain membantu kita merekam jejak Bung Karno, juga disertai dengan strategi konfrontasi kepada Malaysia tanpa merasa perlu untuk berperang. Selain itu, kehadiran buku ini tepat disaat bangsa Indonesia diinjak dan dipermalukan oleh pelbagai bangsa lain. Kini, seyogyanya presiden kita dan seluruh jajaran Tentara nasional Indonesia (TNI) untuk tampil tegas. 


Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Tulisan ini dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 3 April 2011


UUD 1945 dalam Tafsir Postkolonial



Oleh Wildani Hefni

Judul : UUD 1945 sebagai Revolutiegrondwet, Tafsir Postkolonial atas Gagasan-gagasan Revolusioner dalam Wacana Konstitusi Indonesia
Penulis : Dr. Aidul Fitriciada Azhari
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2011
Tebal : xxi + 195 halaman

Undang-undang Dasar (UUD) 1945 sejak semula dinyatakan sebagai konstitusi yang singkat dan darurat. Singkat karena hanya berisi pokok-pokok aturan main dari ketatanegaraan Indonesia. Darurat lantaran dibentuk hanya memenuhi kebutuhan landasan hukum bagi keberadaan Negara Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat. Maka dalam sebuah risalahnya, Bung Karno pernah menyebut UUD 1945 konstitusi kilat yang belum sempurna dan lengkap.
Namun pemuatan UUD 1945 secara formal dalam Berita Republik Indonesia (BRI) tanggal 16 Februari 1946 dan Lembaran Negara RI (LNRI) nomor 75 tahun 1959, membawa implikasi lain. Pemuatan itu mengandung arti, UUD 1945 telah menjadi undang-undang dasar tetap yang berlaku secara yuridis-formal. Terlebih, secara sosiologis UUD 1945 telah berlaku efektif selama lebih lima puluh tahun, sejak masa revolusi, Republik Indonesia Serikat (RIS), Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan era kepemimpinan Presiden B.J Habibie.
Sebagaian kalangan menafsir, kerancuan itu buah inkonsistensi Bung Karno. Disatu sisi dia tegas menyebut kesementaraan UUD 1945, disisi lain menetapkannya melalui dekrit preseiden 5 Juli 1959. Namun lepas dari itu, sebagian pihak yang lain meyakini jika Bung Karno sesungguhnya cenderung memosisikan UUD 1945 sebagai undang-undang dasar yang bersifat sementara. Keyakinan itu didasarkan pada penyebutan istilah “revolutiegrondwet” dalam pidato tanggal 18 Agustus 1945.
Tafsir Berbeda
Dalam situasi yang diliputi ketidakjelasan akan posisi substansi UUD 1945, buku ini hadir. Penulis, Dr. Aidul Fitriciada Azhari, mencoba memberikan tafsir bebeda dari yang sudah ada.
Menurut Aidul, UUD 1945 memiliki tujuan untuk mencapai cita-cita revolusi Indonesia. Pemikiran yang dominan pada saat penyusunan UUD 1945 oleh BPUPKI dan PPKI secara jelas mencerminkan berkembangnya gagasan revolusi Indonesia dikalangan para pendiri negara, terlepas dari perbedaan ideologi mereka.
Untuk menjelaskan makna revolutiegrondwet, Aidul menggunakan dua belah pisau sekaligus, yakni pendekatan teori postkolonial dan fungsi hukum untuk perubahan sosial. Pendekatan pastkolonial digunakan untuk menjelaskan UUD 1945 sebagai teks yang mengandung gagasan seputar kolonialisme dan perlawanan terhadap kolonialisme. Pendekatan itu berkait dengan wacana revolusi yang muncul dalam konteks proses dekolonisasi di Indonesia. (Hal 8). Sedangkan pendekatan fungsi hukum digunakan untuk melihat perubahan radikal, dari sistem kolonial menjadi sistem nasional.
Kajian tafsir hukum Aidul dari istilah “revolutiegrondwet’menghasilkan petunjuk bahwa UUD 1945 punya karakter revolusioner dan berfungsi sebagai instrumen bagi perubahan sosial di Indonesia yang berwatak nasional dan sosial. Tujuannya adalah dekolonisasi dan perubahan sosial ke arah terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dasar dan tujuan revolusi Indonesia tak lain adalah kongruen dengan sosial conscience of man yaitu keadilan sosial dan kemerdekaan Indonesia. (hal 7).
Karakter revolusioner UUD 1945 itu bersambut dengan gelora dan semangat pembaruan masyarakat yang berwatak nasional dan berkeadilan. Sebuah masyarakat baru yang berevolusi dari masyarakat liberal-kapitalistik menuju masyarakat yang bersendikan keadilan sosial. (hal 43)
Akhir kata, buku ini memberikan gambaran bahwa UUD 1945 secara substansial merupakan konstitusi yang mengandung kehendak melakukan perubahan secara revolusioner bagi masyarakat Indonesia. Sebuah implikasi dari karakter UUD 1945 sebagai revolutiegrondwet, yaitu wacana perlawanan terhadap sistem dan warisan kolonial Indonesia. 

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah, IAIN Walisogo Semarang


Tulisan ini dmuat di Suara Merdeka, Minggu, 3 April 2011

Labirin Kebohongan Negara



Oleh Wildani Hefni

Judul : Republik Bohong, Hikayat Bangsa yang Senang Ditipu
Penulis : AM Waskito
Penerbit : Pustaka Al-Kautsar
Tahun : Cetakan I, Februari 2011
Tebal : xiv + 330 halaman
ISBN : 978-979-592-560-6

Jatuhnya Soeharto ternyata tidak sertamerta memuluskan proses reformasi di Indonesia. Lebih setengah dekade reformasi bergerak, tapi perubahan mendasar belum terjadi. Andaikan di negeri ini terjadi 100 kali reformasi, tetap saja susah berubah.

Tanpa ada perubahan radikal dan dramatis, rasanya susah berharap. Kerusakan yang menimpa bangsa Indonesia ini sudah sangat akut. Di atas panggung politik, memang semua berubah dan bergerak. Orang-orang telah berteriak: hidup reformasi, berantas KKN, tegakkan hukum, adili pelanggar HAM. Tapi, semua perubahan dan gerakan itu semu belaka. Rakyat terpental jauh berada dalam situasi hyper-reality of politics, yaitu ruang yang disarati dengan kebohongan terencana, kepalsuan citra, pemutarbalikan fakta dan disinformasi. Mereka yang mestinya direformasi telah berteriak: hidup reformasi. Mereka yang terlibat KKN, malah teriak: berantas KKN. Mereka yang terlibat kasus kekerasan HAM, bebas ikut mengatur negeri ini.

Negeri ini telah dipenuhi para tersangka yang terbungkus dalam labirin kebohongan. Potret realitas demikian ada dan terekam dalam buku “Publik Bohong, Hikayat Bangsa yang Senang Ditipu” garapan AM Waksito ini. Sebuah republik yang dikuasai para pejabat dan elite politik yang mahir bermain kata-kata dusta, palsu, dan penuh gincu. Politik dijadikan alat untuk menyejahterakan keluarga, kerabat dan kelompoknya, bukan untuk membangun kemakmuran rakyat. Ikhtiar memotret realitas kebohongan pemerintah yang baru-baru ini juga diserukan tokoh lintas agama, digagas dalam buku ini. Menyoroti publikasi pemerintah yang dalam berbagai kesempatan menyebutkan sudah banyak kemajuan yang diperoleh masyarakat Indonesia, padahal rakyat kecil tidak pernah merasakan keadilan dan kesejahteraan.

Indonesia, negeri yang disebut gemah ripah loh jinawi, tanahnya subur dan makmur namun rakyatnya belum makmur, hanya kebohongan yang terus menjamur. Mengingatkan kita akan istilah yang dikemukan John Emeric Edward Dahlberg Firts Baron Acton (1887), power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely, manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakannya, apalagi kalau kekuasaan itu absolut, pasti akan disalahgunakan. 

Rezim Pencitraan 

Pemerintahan SBY telah menanamkan konsep harmoni kepentingan demi status quo. Indoktrinasi, memalsukan realitas dan mengeruhkan pikiran rakyat, semua itu ditempuh sebagai jalan. Terjadilah pembusukan dalam tubuh etika, hukum, birokrasi, politik, sosial dan budaya. Korupsi, kolusi dan nepotisme telah menjadi bagian dari kekuasaan. Keadilan dijualbelikan, hukum ditempatkan sebagai ajang permainan bahasa. Ironis, rakyat ditindas oleh sekelompok kecil kaum istana Cikeas. Semua pejabat diatur dengan budaya patronase. Misalnya pemilihan Kapolri. 

Hanya dalam hitungan jam, Presiden menetapkan pilihan kepada Timur Pradopo, yang sebelumnya menjadi Kapolda Jakarta. Padahal Kapolri Bambang Hendarso Danuri sebelumnya sudah mengajukan calon yang definitif tapi justru yang dipilih Presiden adalah Timur Pradopo. Tak ayal, pelbagai spekulasi muncul di kalangan masyarakat (halaman 11). Itulah yang terjadi di negeri ini. Reformasi sebagai jalan mas dalam rangka menegakkan supremasi hukum dan memberantas pelbagai tindakan penyelewengan, masih saja sebatas retorika politik jualan kecap para pejabat. Maka tak heran, Waskito mempertanyakan akan wujud eksistensi bangsa Indonesia yang seakan tidak nyata, hanya nama tanpa hakikat, sebatas identitas tanpa eksistensi. Apa yang selama ini disebut NKRI, pemerintahan RI atau bangsa Indonesia, hanyalah formalitas belaka. 

Itulah potret negeri para bedebah, seperti puisi Adhie Massardhie yang dibacakan saat memprotes kriminalisasi pejabat ketua KPK. Buku setebal 330 halaman ini dilengkapi pandangan para ahli tentang kondisi terkini bangsa kita. Termasuk pandangan Mahfud MD yang menyatakan bahwa reformasi selama 12 tahun hanya basa-basi saja, kulitnya berubah tetapi hakikat sistem korupsinya tetap tidak bergeming (hal 53). Dengan bahasa sastra yang berbeda, penyair Taufiq Ismail juga mengemukakan akan kondisi negara ini dengan sebutan GSM (Gerakan Syahwat Merdeka). Di dalam gelombang reformasi yang membawa perubahan politik sewindu yang lalu, sebuah arus besar digerakkan kelompok permisif dan adiktif menumpang masuk ke Tanah Air kita. 

Arus besar itu, sesuai karakteristiknya, tepat disebut Gerakan Syahwat Merdeka. Tulis Taufiq Ismail (hal 27). Kajian Waskito ini berhasil membuat epistemologi baru menuju arah suatu kearifan dengan pendekatan kalbu dan intuisi. Dengan sistematis, tampak sebuah elaborasi pendekatan teologis. Dengan mengutip pesan Nabi, la takdzib (jangan berbohong) karena berbohong adalah pintu kejahatan.


Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah, IAIN Walisongo Semarang


Tulisan ini dimuat di Koran Seputar Indonesia, Minggu, 3 April 2011