Rabu, 18 Mei 2011

Waisak dan Pesan Damai

Oleh Wildani Hefni

Setiap tanggal 17 Mei, seluruh umat Buddha di seluruh dunia memperingati hari raya Waisak, begitu juga umat Buddha Indonesia. Sebagai kaum minoritas di Indonesia, umat Buddha patut untuk dihormati. Lebih dari itu, momentum perayaan Waisak kali ini seharusnya dijadikan refleksi untuk mengembalikan wajah muram agama, bukan hanya bagi umat Buddha, melainkan juga bagi seluruh umat beragama di Indonesia.

Dalam pekan terakhir, kesadaran akan ketidakharmonisan diskursus kerukunan antarumat beragama mengemuka serta menemukan momentumnya dalam konstelasi kekerasan publik yang melibatkan umat beragama. Akhirnya, wajah agama tercoreng menjadi kusam. Padahal, kita yakin bahwa prinsip dasar dari setiap agama adalah memberikan keselamatan bagi umat manusia.

Tapi, mengapa agama bisa menjadi sumber bencana? Atas nama agama, kekerasan, kematian, penistaan, bisa terjadi di mana dan kapan saja. Substansi agama yang sejuk, universal, plural, inklusif, progresif menjelma dalam paras yang kasar dan menakutkan. Ternodai oleh aras kontestasi dan konsesi egoisme semata. Hal ini tentu mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, merusak kerukunan intern dan antarumat beragama yang selama ini terbina dengan baik.

Belajar pada Buddha

Dalam ajaran Buddha, seluruhnya berisi ajaran santun dan damai. Kitab-kitab suci Buddha mengajarkan untaian penuh hikmah. Dalam salah satu sabda Guru Buddha, tersirat sebuah ajaran hidup damai. Jika hidup kita dipenuhi egosentrisme, egoisme, dan skeptisme dalam beragama, dapat dipastikan kedamaian tak akan pernah terwujud dalam kehidupan (Dhammapada, Bab I: 3).

Maka, kunci untuk menciptakan kehidupan humanis, inklusif, dan toleran tak lain adalah menghilangkan akan rasa degil di atas, seperti dituliskan dalam Dhammapada, Bab I: 4, "Seseorang sudah tidak lagi menyimpan pikiran-pikiran seperti itu (menghina, memukul, menistakan), maka yakinlah kebencian akan dengan mudah berakhir."

Begitu juga didikan sang Guru Buddha kepada Raja Asoka. Awalnya Asoka adalah raja degil, bengis, dan pembunuh berdarah. Namun, setelah mendapatkan dedikasi dari Guru Buddha, Asoka lantas menjadi raja yang penuh cinta dan santun. Asoka kemudian membangun Pilar Asoka yang bertuliskan, "Jika orang berpikir bahwa dengan menjelek-jelekkan dan mematikan ajaran orang lain, mereka telah melakukan sesuatu yang lebih baik buat agamanya, tanpa disadarinya, jika hal itu ia lakukan, justru mereka tengah membuka liang kubur bagi agama sendiri."

Perayaan Waisak tahun ini tepat untuk merefleksikan dan mengimpletasikan nilai-nilai moral ajaran Sang Buddha ke dalam kehidupan nyata. Umat Islam yang menjadi umat mayoritas di Indonesia dan umat-umat lainnya diharapkan mampu memantulkan cahaya religius ke dalam sanubari mereka tanpa melihat asal teologisnya. Yang paling mendesak adalah harapan semakin menguatnya kohesivitas antarumat beragama.

Secercah harapan akan sebuah kondisi kedamaian kembali menyelimuti negeri kita. Pelbagai tragedi kelam semakin menyulut sumbu akan kesuburan universalitas agama. Pada masa lalu di Eropa dalam kurun waktu lama, khususnya apada abad ke 16, untuk menghilangkan konflik dan intoleransi, dikenal Wars of Religion antara Kristen, Yahudi, dan Katolik. Sementara di Prancis, diundangkan The Edict of Nantens pada tahun 1598, sedangkan di Inggris ada Toleration Act pada tahun 1689. Namun, di Indonesia dalam aspek yuridis-formal, masalah agama semakin tak menentu.

Dialog perdamaian

Persoalan yang cukup kronis ketika kita tidak mampu menerima realitas diri atau eksistensial kita yang sebenarnya. Resistensi golongan, kaum mayoritas, pikiran renaisans, telah mampu membius kita dalam mengapresiasi, menjalani, menghayati, hingga mentransendensi hidup beragama. Akibatnya, kita tak mampu sekadar untuk saling asah, asih, dan asuh.

Hal ini menuntut pentingnya pengertian dan menghargai di antara agama untuk menumbuhkan hubungan harmonis. Laiknya dedikasi sang Guru Buddha kepada Raja Asoka yang mampu mengubah kebengisan berpikir. Dialog adalah lorong untuk menciptkan kedamaian. Mengutip pernyataan W Montgomery Watt dalam pengantar bukunya Islamic Revelation in The Modern World (1969), dialog agama melibatkan kesediaan untuk menjawab secara positif pernyataan agama lain tanpa maksud mengubah kesetiaan orang.

Sebab, persoalan yang ada di tubuh umat beragama adalah ketidakmampuan menempatkan diri sejenak dalam sebuah dialog untuk mendiskusikan secara bebas tanpa ancaman dan tekanan dalam menyelesaikan sebuah masalah hingga sampai pada konsensus (Mohammad Talbi, 1998).

Dialog akan menciptakan rasa kebersamaan yang akan berdampak pada kerukunan. Hal ini untuk membawa kita tak teracuni dan tak terobsesi oleh yang terbenar (the only truth) dan kuasa (power), apalagi terpolitisasi.

Jika pada waktu-waktu tertentu "kita" harus harus menjadi "kami" dan "mereka", tidak masalah asal "kita" tetap menjelma dalam hubungan dialektis, bukan antagonis. Dalam kerukunan umat beragama, seharusnya kata "kami" semakin mengenal "kami" karena "mereka", sehingga eksistensi "kami" tidak bisa menjadi apa-apa tanpa kehadiran "mereka".

Dialog demikian akan melahirkan pengakuan akan keberadaan atau eksistensi lain. Bahkan, lebih dalam lagi, satu diri akan tegak karena tegaknya diri yang lain; "kita" ada karena "mereka", begitu sebaliknya. Dialog demikian diharapkan mampu melempar jauh akan sikap triumphalism, kecenderungan menganggap umat lain sebagai objek yang butuh diselamatkan yang menjadikan agama minoritas sebagai kolong "korban" atau yang "dikorbankan".

Penampakan kekerasan antarpemeluk agama yang sangat marak belakangan ini terlepas dari apakah sumbernya dari faktor luar agama atau bahkan dari pergolakan konflik internasional, memaksa untuk tak menunggu lagi mendesain konsep beragama yang humanis dengan belajar pada ajaran-ajaran adiluhung semua agama, baik Islam, Kristen, Buddha, Konghucu, dan lainnya.

Dimuat di REPUBLIKA, Rabu, 18 Mei 2011

Sabtu, 07 Mei 2011

Dinamika Desentralisasi di Indonesia



Oleh Wildani Hefni

Judul buku : Kegalauan Identitas, Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca-Orde Baru
Penulis : Martin Ramstedt dan Fadjar Ibnu Thufail dkk
Penerbit : Grasindo Jakarta
Cetakan : I, Januari 2011
Tebal : 222 halaman

Membaca buku Kegalauan Identitas Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca- Orde Baru ini, mengingatkan kita akan reformasi politik 1998 yang telah membawa perubahan besar dalam diskursus politik Indonesia. 

Perubahan itu tecermin dalam pandangan bahwa pemusatan kekuatan politik bukanlah satu-satunya cara yang dianggap tepat untuk mengelola dan mengawasi keanekaragaman sosial dan budaya di Indonesia. Desentralisasi menjadi persoalan besar karena mengatur pembagian otoritas politik, otoritas pembuatan undang-undang dan hubungan fiskal antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten yang kini dikenal dengan otonomi.

Konsep desentralisasi tidak menjamin menjadi jalan keluar bagi permasalahan kompleks mengenai keanekaragaman sosial, budaya,dan agama. Maraknya konflik etnis di Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan di tempat lainnya jelas mempertontonkan sisi kelabu desentralisasi. Dinamika ruang politik identitas kian meruncing karena memunculkan proses identifikasi etnik dan regional di pelbagai daerah, sementara adat juga dihidupkan kembali.

Identitas sebagai produk khas budaya bersifat tidak pasti. Karenanya, identitas dipahami sepenuhnya sebagai produk sosial dan tidak dapat mengada di luar representasi kultural dan sosial. Sementara pada satu sisi, desentralisasi merupakan sendi negara kesatuan yang demokratis. Keberadaan pemerintah lokal merupakan bentuk pengakuan terhadap karakteristik masing-masing wilayah negara yang merupakan pencerminan dari prinsip negara hukum yang demokratis.

Indonesia sebagai bangsa yang dibangun oleh keanekaragaman identitas sosial budaya, suku, agama, ras, tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam mendesain hukum di tingkat lokal dan pusat. Pasca-Orde Baru, semenjak reformasi 1998, telah banyak kita saksikan fenomena perselisihan di Minangkabau, persoalan identitas di Bali, sengketa agama di Papua,kerusuhan Ambon, perdamaian di Minahasa,politisasi Tionghoa, dan permasalahan hak intelektual lainnya.
Yang menarik dalam ulasan buku ini adalah persoalan di Minangkabau, sebuah daerah yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan yang lainnya. Kelompok etnik Minangkabau mendominasi hampir 90 persen dari keseluruhan penduduk provinsi. Masyarakat menerima desentralisasi dengan cepat dan proses tersebut berjalan relatif damai. Namun apa pasal, yang terjadi adalah ketidaksepakatan masyarakat Minangkabau tentang identitas kolektif mereka.

Identitas Minangkabau selalu beragam, bersifat tidak pasti dan selalu dipersoalkan. Percampuran identifikasi orang Minangkabau dengan negara Indonesia,Islam,dan adat secara teratur diwujudkan dalam pepatah yang mengatakan bahwa identitas Minangkabau terdiri dari tiga tali yang terjalin (tali tigo sapilin) atau tiga tungku batu (tungku tigo sajarangan).

Identifikasi seperti inilah yang menimbulkan pergolakan krusial terkait identitas dalam ruang politik yang diejawantahkan dalam sistem desentralisasi (halaman 17). Buku ini mengajak untuk merenungkan kembali bahwa konsep desentralisasi mesti berbenturan dengan proses identifikasi. Sementara, dalam proses identifikasitaklainadalahsengketa. Baik itu individu, kelompok, saling berkompetisi untuk kepentingan masing-masing.

Sama halnya ketika pemerintah desa memproses identifikasi, mereka menekankan soal-soal tertentu sebagai konflik. Tak ayal, dalamkontekspenguasaan terhadap sumber daya alam, organisasi desa, adat, tampak ber-tentangan dengan hukum negara (halaman 35). Martin Ramstedt dan Fadjar Ibnu Thufail menengarai bahwa kegaduhan identitas itu bersumber dari kontestasi identitas kelompok yang memetakan diri sendiri dan tidak mau akan aturan pemerintah.

Secara gamblang, buku ini membuka kedok akan warisan politik rezim Orde Baru hingga memunculkan kesan seolaholah identitas adalah aspek kebudayaan yang primordial. Pada titik inilah terjadi kegalauan identitas dalam diskursus desentralisasi. Kumpulan artikel yang ditulis oleh antropolog dan peneliti senior ini patut menjadi pustaka kritis atas kebangsaan kita. Seluruh artikel menghadirkan solusi konkret untuk mencari ruang identitas dengan menekankan akan imajinasi sosial tentang aturan lokal (kewarganegaraan) harus sejalan dengan aturan pusat negara.

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di Koran Seputar Indonesia, Minggu, 08 Mei 2011



Rabu, 04 Mei 2011

Mengenang Presiden Kedua RI

Oleh Wildani Hefni


Judul : Presiden Prawiranegara: Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia
Penulis : Akmal Nasery Basral
Penerbit : Mizan
Tahun : I, Maret 2011
Tebal : 370 halaman
Harga : Rp54. 000

Melihat novel sederhana ini, kita dibawa pada satu pertanyaan, benarkah Syafruddin Prawiranegara pernah menjadi Presiden Indonesia? Tak banyak orang tahu melodrama kisah perjuangan para pendiri bangsa Indonesia, termasuk perjuangan Pak Syafruddin, yang oleh sejarawan Asvi Marmar Adam ditempatkan sebagai Presiden kedua Indonesia. Keadaan Indonesia pada 1948 masih dalam guncangan Belanda. Walaupun Indonesia telah merdeka, namun serangan militer Belanda mampu menguasai ibu kota Indonesia, yaitu Yogyakarta.

Sejumlah pemimpin besar Indonesia seperti Sukarno, Hatta, Sultan Syahrir, dan Agus Salim berhasil ditangkap. Indonesia yang ditelah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, nyaris jatuh dalam genggaman Belanda. Sebelum Sukarno-Hatta ditangkap tentara Belanda, ia sempat mengirim telegram kepada Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI. Dalam telegram itu, para pemimpin Indonesia menginstruksikan kepada Syafruddin untuk membentuk Pemerintah Republik darurat karena Belanda telah melakukan serangan besar pada ibu kota: Yogyakarta.

Akhirnya, dengan semangat juang dan bukan semata-mata memperebutkan jabatan kekuasaan, pada tanggal 22 Desember 1948, Syafruddin membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Kondisi bangsa yang baru empat tahun berusaha bangkit dari penjajahan, menjadi alasan utama Syafruddin mengabdikan dirinya pada bangsa dengan menjalankan tugas sebagai ketua PDRI, setara dengan presiden. Walaupun ia hanya sementara, berkisar 270 hari (19 Desember 1948-13 Juli 1949), patut kiranya kita mengenang dan menghargai jasa-jasa Syafruddin sebagai pahlawan nasional dan presiden kedua Indonesia yang begitu berjasa menyelamatkan Indonesia.

Sosok berwibawa yang menolak sebutan Presiden ketika PDRI telah dibentuk, dengan kerendahan hatinya ia lebih suka dipanggil ketua PDRI. Karena baginya, integrasi persatuan dan kesatuan negara lebih diutamakan dibanding sekadar gelar yang melekat pada dirinya. Ini jelas berbanding arah dengan kondisi pemerintahan saat ini yang lebih mengutamakan pantat daripada akal pikiran jernih. Sebagai sosok jenius yang lebih banyak diam, Syafrudin melakukan strategi jitu.

Menyusupi pelosok-pelosok terpencil yang sulit dideteksi oleh Belanda. Kemudian, media yang kala itu masih siaran radio, menjadi alat komunikasi utama untuk membangun opini publik tentang situasi dan kondisi nasional Republik Indonesia. Akmal Nasery Basral yang sukses menovelkan kehidupan KH Ahmad Dahlan melalui Sang Pencerah, kini ia mampu meracik kembali sebuah novel yang begitu apik tentang kehidupan Pak Syafrudin sebagai Presiden PDRI dari sudut pandang tokoh fiktif Kamil Koto.

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang


Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, Rabu 4 Mei 2011