Sabtu, 25 Juni 2011

Sepak Terjang Salafi Wahabi



Oleh Wildani Hefni

Judul : Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik, Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi
Penulis : Syaikh Idahram
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : I, April 2011
Tebal : 306 halaman

Adagium yang mengatakan bahwa buku adalah pengikat ilmu, tak ada yang membantah. Tak heran, jika buku menjadi senjata ampuh yang paling efektif bagi kelompok Salafi Wahabi dalam mengarahkan umat kepada paham yang mereka inginkan.

Gerakan Wahabiyah yang sampai sekarang merupakan paham atau aliran keagamaan yang dianut dan diterapkan oleh Kerajaan Saudi, dengan gencar melakukan penyebaran Wahabisme. Penyebaran itu lewat pemberian dana dan bantuan lainnya kepada institusi, organisasi dengan membagi-bagikan literatur Islam khususnya karya Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1702-1791) dan Ibnu Taymiyyah (1263-1328), yang merupakan sumber pokok Salafi Wahabi.

Dalam ideologi Salafi Wahabi telah terpatri sebuah ideologi supremasi bahwa mereka selalu merasa lebih unggul dan superior disertai sikap arogansi diri yang didalamnya terkandung perasaan selalu benar ketika berhadapan dengan kelompok atau pendapat orang lain. Jelas bahwa orientasi kelompok Salafi Wahabi tak lain adalah kelompok yang selalu merasa lebih unggul dan kekuasaan simbolik yang tak kenal kompromi walaupun sesama muslim.

Itulah ideologi Salafi Wahabi yang cendrung saling menyalahkan dan menuduh umat Islam lain telah menyimpang dari ajaran Islam sebenarnya. Bahkan yang sangat memiriskan, temuan buku ini mengungkap dengan jelas bahwa kelompok Salafi Wahabi telah melakukan pemusnahan dan pembakaran buku, sengaja meringkas, mentahqiq, mentakhrij kitab-kitab hadits yang tak mereka sukai, menghilangkan hadits-hadits yang tak sesuai dengan paham mereka. Lebih tragisnya, kelompok Salafi Wahabi telah melakukan pembajakan atas karya-karya Ulama klasik, melakukan intimidasi dan provokasi, membeli manuskrip, menyogok penerbit sampai pada pencurian buku-buku induk untuk dihilangkan sebagian isinya atau dimusnahkan segalanya.

Buku ini dengan lantang membuka kedok kebohongan Salafi Wahabi dalam menyebarluaskan ajarannya. Tidak aneh, jika Salafi Wahabi begitu konsen dalam ranah perbukuan, penerbitan, dan penerjemahan. Pelbagai jenis buku, baik kertas ataupun e-book digital mereka cetak untuk dibagikan secara gratis. Mereka mengarang-ngarang hadits dan pendapat para Ulama sebagai upaya memperjuangkan akidah Salafi Wahabi yang mereka yakini paling benar. Sepak terjang doktrin Salafi Wahabi memang begitu bengis dan degil.

Buku kedua dari Trilogi Data dan Fakta Penyimpangan Salafi Wahabi karya Syaikh Idahram ini, kembali membuat kita merinding seakan tak percaya, tapi itutah kenyataannya. Sebuah realitas tentang Salafi Wahabi dikupas tuntas dengan bahasa sederhana, mudah dan enak dibaca.

Pemalsuan, penyelewengan, perusakan dan pelenyapan terhadap buku-buku karya Ulama Islam merupakan jalan terjal Salafi Wahabi. Ini tentu tidak lepas dari doktrin-doktrin guru salafi Wahabi seperti Muhammad Ibnu Abdul Wahab, Ibnu Taymiyyah, Abu Ubaidah Masyhur Ibnu Hasan Alu Salman dan Ibnu Qayyim Al-jauziyah. Bahkan Ibnu Taymiyyah mengeluarkan fatwa untuk membakar buku-buku Ulama Islam yang bertentangan dengan ideologi Salafi Wahabi. (hal 27)

Tak ayal, kelompok Salafi Wahabi dengan dana yang cukup besar melobi para pemilik percetakan untuk menyelewengkan teks-teks kitab-kitab turats dan manuskrip dari teks aslinya. Baik itu hadits, tafsir, fikih, akidah, sejarah, lughah, maupun ibarat para Ulama. Dengan detail, buku ini menyebutkan bentuk-bentuk penyelewangan Salafi Wahabi. Pada tahun 1224, mereka membumihanguskan perpustakaan al-Aidrusiyah dan al-Handawaniyah di Hadramaut Yaman, dimana puluhan ribu manuskrip tersimpan didalamnya. Kemudian pembakaran 60.000 buku-buku langka di perpustakaan Maktabah Arabiyah, Makkah. (hal 38)

Yang mengejutkan, mereka juga mentakhrij dan meringkas kitab-kitab hadits. Misalnya kitab Shahih Bukhari, Musnad Ahmad, dan Shahih Muslim, diringkas dan banyak hadits-hadits penting yang dibuang karena dianggap tidak sesuai dengan paham mereka. Begitu juga dengan kitab tafsir Hasyiyah al-Shawi ala Tafsir Jalalain, kitab Al-Adzkar karya Imam Nawawi dan kitab al-Ibanah karya Imam Asy’ari. (hal 73)

Dengan itu, buku ini patut menjadi bahan pustaka kritis mengungkap informasi penting yang selama ini agak tertutup atau mungkin ditutup-tutupi. Dikupas dengan akurat dan ilmiah yang dapat dibuktikan akan kebenerannya karena kasus penyeleweangan demikian juga telah diakui oleh Ulama-ulama kenamaan di Timur Tengah. Diantaranya mufti Mesir, Prof. Dr. Ali Jum’ah, tokoh Ulama Syiria Abdullah al-Harari al-Habasyi, tokoh Ulama Maroko Ahmad al-Ghimari, tokoh ulama Tasawuf di Mekkah, Muhammad ibnu Alawi al-maliki dan ulama-ulama lainnya. 

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di GP Ansor, Jum’at, 24 Juni 2011

Ratna Sari Dewi dalam Pelukan Sukarno



Oleh Wildani Hefni

Judul : Ratna Sari Dewi Sukarno, Sakura di Tengah Prahara
Penulis : M Yuanda Zara
Penerbit : Ombak Yogyakarta
Tahun : I, 2011
Tebal : xvi + 260 halaman


Kerapkali orang berasumsi bahwa love is blind alias cinta itu buta. Cinta buta ini cenderung membuat orang mabuk kepayang, tindak-tanduknya tanpa logika dan pertimbangan sama sekali. Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi. Tak jarang, orang yang sedang jatuh cinta kebanyakan melakukan kegiatan aktif berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang kepada yang dicintai.

Nostalgia demikian ternyata pernah dialami oleh presiden pertama Indonesia, Sukarno. Tak banyak orang tahu, Sukarno sempat terpesona pada sosok perempuan cantik saat melakukan kunjungan kenegaraan ke Tokyo pada tahun 1959. Perempuan itu adalah Ratna Sari Dewi, bernama asli Naoko Nemoto. 

Buku ini menjadi bukti bahwa Sukarno tak hanya tertarik pada dunia politik, namun ia juga menempatkan perempuan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan buku ini juga memberikan informasi penting terkait kisah cinta Sukarno dengan perempuan-perempuan cantik asal Jepang. Dalam penulusuran sejarah yang dilakukan Yuanda Zara, sebelum menjalani hubungan dengan Dewi, ternyata Sukarno pernah memiliki hubungan spesial dengan perempuan bernama Sakiko Kanase. Namun hubungan keduanya tak berlanjut karena munculnya seorang Naoko Nemoto.

Peristiwa besar terkait pampasan perang yang dialami Indonesia dari Jepang pada tahun 1950-an, menyebabkan Indonesia menderita dan mengajukan tuntutan kepada Jepang untuk membayar kerugian. Selama beberapa tahun, Indonesia dan Jepang seringkali melakukan lobi-lobi penting.

Pada tahun 1959, Sukarno dan rombongannya berkunjung ke Jepang yang juga masih dalam urusan harta pampasan perang. Untuk menunjukkan ikraman li al-dhuyuf (menghormati tamu), tuan rumah menjamu rombongan Sukarno dengan pelayanan yang terbaik. Karena itu, Akasaka’s Copacabana menjadi tempat refreshing rombongan Indonesia setelah letih melakukan perundingan. Ditempat inilah Sukarno kali pertama bertemu dengan Dewi pada Jum’at malam, 16 Juni 1959.

Pertemuan itu meninggalkan kesan dibenak masing-masing. Tampaknya, Sukarno mulai jatuh hati kepada Dewi. Long distance relationship alias hubungan jarak jauh antara Jepang dan Jakarta, tak menjadi halangan bagi sang pemimpin besar revolusi. Sukarno mengirimkan surat-surat mesra kepada Dewi melalui kedutaan besar RI yang ada di Tokyo.

Kepiawaian seorang Yuanda Zara dalam meracik isi buku ini membuat para pembaca seakan terenyah dan meresapi setiap usaha Sukarno untuk membawa Dewi dalam pelukannya. Didasari perasaan cinta yang kuat dalam diri Sukarno, tak tanggung-tanggung ia mengundang Dewi untuk hadir ke Indonesia. Awalnya Dewi tak meladeni tawaran itu. Namun, bujukan dari sosok Kubo Masao, seorang pengusaha yang mempunyai niatan menguras uang Sukarno dan memperlancar bisnisnya di Indonesia, perlahan ia membujuk Dewi untuk datang ke Indonesia. Kahirnya, Dewi menyetujuinya.

Ketika Dewi berada di Jakarta, ia mulai sadar bahwa keberadaannya dimanfaatkan oleh Kubo Masao untuk memperlancar usaha bisnisnya di Indonesia. Maka pada tahun 1962, akhirnya hubungan Dewi dan Kubo Masao memburuk karena Dewi merasa tidak nyaman dikendalikan dan disetir oleh Kubo Masao.

Membaca buku ini terasa seperti mengendarai mobil sport yang melesat di jalan mulus: seru, tegang, girang, adrenalin melejit hingga ke titik orgasmik. Kisah percintaan Sukarno dan Dewi seakan terekam dalam adegan fiktif yang dikendalikan seorang produser, tapi itulah kenyataannya.

Setelah menjalani percintaan backstreet sedemikian lama dan penuh suka duka, akhirnya Sukarno dan Dewi memutuskan untuk menikah. Sepanjang penelusuran dari buku ini, tidak ditemukan kejelasan tanggal menikahnya Sukarno dan Dewi. Namun ada yang berpendapat, keduanya menikah pada tanggal 3 Maret 1962 yang pada saat itu pula, Dewi bersyahadat menganut agama Islam. Juga pada tanggal inilah, sosok Dewi yang aslinya bernama Naoko Nemoto diganti oleh Sukarno menjadi Ratna Sari Dewi Sukarno. 

Meski beda usia yang terpaut jauh, Sukarno berusia 66 tahun dan Dewi masih 22 tahun, keduanya tampak mesra dalam rasa cinta yang menggelora laiknya kisah kasih anak remaja. Kecintaan Sukarno terlihat dalam sebuah surat semi puisi yang ditulisnya pada tanggal 6 Juni 1962, surat itu bertuliskan : Kalau aku mati, kuburkanlah aku di bawah pohon yang rindang. Aku mempunyai istri yang aku cintai dengan segenap jiwaku. Namanya Ranta Sari Dewi. Kalau ia meninggal, kuburkanlah ia dalam kuburku. Aku menghendaki ia selalu bersama aku.

Setidaknya, buku ini mampu mengumbar akan sejarah percintaan Sukarno dengan para isteri-isterinya. Buku ini patut dibaca oleh mereka yang sedang memangku jabatan strategis untuk tak gampang jatuh hati kepada seorang perempuan yang justru akan menenggelamkan karir, loyalitas, kredibilitas, dan integritas kepribadiannya. Jika tidak mampu hidup seperti Sukarno, maka jangan pernah mencoba untuk bermain api dengan perempuan.

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di Radar Surabaya, 26 Juni 2011

Sabtu, 18 Juni 2011

Jejak Buram Polisi Indonesia



Oleh Wildani Hefni

Judul : Polisi Zaman Hindia Belanda, dari Kepedulian dan Ketakutan
Penulis : Marieke Blombergen
Penerbit : Buku Kompas
Cetakan : I, 2011
Tebal : xliv + 539 halaman

Tepat yang ditulis Mardjono Reksodiputro dalam kata pengantar buku ini bahwa keadaan hari ini adalah akibat perkembangan masa lalu dan apa yang kita lakukan sekarang akan menentukan masa depan. Itulah kalimat yang sesuai untuk menggambarkan keadaan kepolisian Indonesia saat ini.

Polisi yang diharapkan menjadi tonggak moral bangsa justru tidak pernah lepas dari skandal dan kontroversi. Misalnya, hari-hari ini Kepolisian Republik Indonesia (polri) terlihat lamban menangani laporan Mahkamah Kontitusi tentang temuan belasan surat palsu yang dikeluarkan KPU. Belum lagi menghadapi kasus kekerasan massal, seperti yang belakangan terjadi di Cikeusik, Banten, dan Temanggung. Polisi tampil ambigu dan terdapat krisis reputasi. Mengapa demikian?

Jawabannya barangkali bisa disimak lewat buku karya Marieke Blombergen ini. Dosen Sejarah Universitas Amsterdam yang bertugas melakukan penelitian Arkeologi Indonesia itu mengupas tuntas akan sejarah kepolisian zaman Hindia Belanda. Mulai awal pembentukannya pada 1897 sampai keruntuhan negara kolonial pada 1942, yang merupakan cikal bakal Polri. Blombergen menengerai bahwa kinerja buram Polisi bermula sejak awal pembentukan pertama.

Polisi di Hindia Belanda merupakan produk langsung dari ketakutan dan kepedulian. Ikhtiar Pemerintah kolonial untuk mengembangkan kepolisian modern dimulai sejak paro terakhir abad ke-19. Mayoritas pengisi korps kopolisian modern itu adalah kaum pribumi. Suatu tujuan yang kurang terhormat karena korps tersebut bukan hanya mengawasi urusan keamanan negara, tapi juga untuk mempertahankan kekuasaan.

Peneliti di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) di Leiden, Belanda, itu menampilkan aib rekam jejak polisi kolonial. Secara konsep, kepolisian di Hindia Belanda dibentuk sebagai tanggapan dari negeri induk terhadap persoalan memelihara dan menjaga keamanan di negara koloni. Polisi hanya dibentuk untuk mendedah masalah pemerintahan kolonial yang ingin dianggap beradab dengan kekuasaan penuh.

Blombergen juga mendapati bahwa polisi modern kolonial ternyata lahir dari kepedulian dan ketakutan. Kepedulian dalam arti mereka berkehendak mendirikan negara polisi di negeri jajahan, menciptakan masyarakat yang aman dan tertib.

Tapi, kenyataannya, kepolisian pada waktu itu juga mendapat beban menjalankan tugas-tugas kotor negara kolonial dengan tindakan represif. Dengan demikian, upaya membangun negara polisi boleh dibilang “gagal total”.

Bukti konkretnya, pada tahun 1912-1914 kepolisian Hindia Belanda tumbuh dengan kokoh dalam labirin imperialisme etis sebagai wujud pengejewantahan dari keharusan negara dalam menjaga keamanan dan ketertiban ekonomi masyarakat pribumi. Pada zaman kolonial itu pula, sebagaimana temua Blombergen, ternyata polisi pun ambil urusan menangani soal-soal akhlak.

Pada tahun 1918 di Jawa, kepolisian dihadapkan pada keresahan sosial dan etnis yang begitu krusial. Sebuah keresahan berdimensi ekonomi sebagai dampak negatif perang dunia di Eropa. Kericuhan dan perampokan tak hanya terjadi di Batavia tapi juga di pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Demak dan Kudus, pecah kerusuhan anti-China. Di Semarang, sekitar 1.500 orang Jawa menyerbu dan merampok rumah-rumah di pecinaan. Melihat kondisi demikian, ternyata Polisi hanya diam, datar dan tak bereaksi. (hal 208).

Itulah potret kepolisian sejak zaman Hindia Belanda. Tatkala dihadapkan pada pelbagai persoalan krusial, mereka tak mampu untuk berbuat banyak. Itulah yang menjadikan para polisi kehilangan reputasi.

Blombergen pun tak kunjung menemukan tekad bulat negara yang sejatinya praktis membutuhkan polisi sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk menjadikan mereka penjaga moral bangsa. Bukan menjalankan kebijakan dan menegakkan rust en orde, polisi justru sebagai gudang kekuasaan pragmatis.

Membaca buku ini terasa seperti mengendarai mobil sport yang melesat di jalan mulus: seru, tegang, girang, adrenalin melejit memuncak seakan tak percaya. Tapi, itulah kenyataannya. Naifnya lagi, polisi justru tunduk atas intervensi hierarki seorang penguasa negara.

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di Jawapos, Minggu, 19 Juni 2011

Gigantisme Partai Demokrat



oleh Wildani Hefni

Skandal Muhammad Nazaruddin benar-benar menimbulkan hiruk pikuk politik dalam Partai Demokrat (PD). Tak ayal, partai besutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini mengalami ancaman krisis yang sangat krusial.

Setelah skandal Nazaruddin, kini dikabarkan pucuk pimpinan PD tengah perang dingin. Hubungan Ketua Umum PD, Anas Ubaningrum dengan Ketua Dewan Pembina dan pendiri PD, SBY diisukan kian memburuk. Isu ini mengemuka ketika Anas tidak terlihat saat Dewan Kehormatan (DK) PD mengumumkan pemberhentian Nazar sebagai bendahara umum PD. Terlebih lagi setelah itu, Anas juga berkali-kali tidak menghadiri rapat PD di kediamaan SBY. 

Kasus lainnya juga telah menghangat yaitu kasus Andi Nurpati, kader PD yang dilaporkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ini semua merupakan ancaman bagi masa depan PD yang telah terlanjur menjadi partai “luar biasa”. Dalam usianya yang cukup muda, partai ini telah berhasil menjadi penguasa. 

Fenomena Demokrat

Partai demokrat memang telah menjadi fenomena. Terbentuk pada 9 September 2001 dan telah meraih beberapa kemenangan. Pertama, meraih sekitar 8 juta (7,8 persen) pemilih atau 56 (10, 18 persen) kursi Dewan Perwakilan Rakyat dalam pemilu legislatif 5 April 2004. Kedua, mengantar SBY bersama Yusuf Kalla keposisi nomor satu dalam pemilu presiden 2004. Ketiga, kemenangan PD sekaligus bertenggernya kembali SBY sebagai presiden pada pemilu 2009. Ini menjadi catatan sendiri dalam sejarah perpolitikan bangsa. Maka wajar jika para analis politik menempatkan PD pada era 2004-2009 sebagai partai paling besar dan prospektif.

Pertanyaan yang muncul, apakah PD pada era 2014 ini akan tetap mencapai postur politik diatas permukaan? Jawabannya tidak mesti. Melihat kondisi saat ini, PD kemungkinan besar bisa terjerambab dalam gejala gigantisme, sebuah partai yang besar secara cepat tapi juga cepat tersungkur.

Setidaknya ada tiga krisis multidimensi yang tengah menyelimuti PD saat ini. Pertama, krisis kepemimpinan karena sejak lahir PD sangat bergantung pada figur SBY. Sudah menjadi bahan analisis banyak pengamat bahwa faktor SBY sebagai magnet politik PD tergolong luar biasa. Untuk tahun 2014, SBY tak mungkin mencalonkan diri sebagai presiden kembali. Ketidakberadaan SBY dalam kursi pencalonan presiden, sedikit banyak akan berpengaruh pada perolehan suara PD. Keberadaan Anas sebagai ketua umum PD juga tak akan banyak memberi sumbangsih. Terbukti, kini ketergantungan pada figur SBY menjadikan potensi PD tersendat-sendat untuk menjadi partai modern.

Kedua, banyaknya kubu-kubu terpendam antar elite PD yang semakin runyam, menyebabkan kesulitan membangun kompromi dalam kekuatan internal. Para elite PD berlomba-lomba mengedepankan kepentingannya sendiri. Konflik dan ketegangan yang tidak teresolusikan ini mesti memberi dampak negatif yang akan berpengaruh telak pada nasib PD kedepan.

Ketiga, krisis dukungan yang menjadi tali-temali terhadap posisi central sosok SBY. Dulu, keadaan Indonesia yang semrawut menjadikan masyarakat berlomba-lomba mencari tatanan baru untuk mencari pemimpin yang ideal bagi Indonesia. Kala itu, sosok SBY telah ditangkap oleh elemen masyarakat sebagai tokoh ideal memimpin Indonesia. Namun, keadaan itu cukup berbanding arah dengan realita sekarang. Survei-survei yang dilakukan beberapa lembaga, cenderung mencatat kemerosotan popularitas SBY. Belakangan, sosok SBY semakin menanggung banyak beban politik. Beban itu bertambah berat manakala soliditas internal PD bermasalah.

Tidak mengherankan jika mencuatnya kasus bendahara PD Muhammad Nazaruddin benar-benar menjadi ujian serius bagi SBY dan semua elite politik partai itu. Drama-drama politik belum hendak usai tetapi diperkirakan akan terus menghangat. Ini yang akan membawa PD dalam poros gigantisme, khususnya mendekati tahun kompetisi politik 2014.

Ditambah lagi dengan kecendrungan PD beserta para kroni-kroninya yang mengedepankan status quo mereka. Dua periode PD menjadi partai terbesar yang menguasai kursi DPR dan menampilkan sosok SBY sebagai orang nomor satu. Namun kenyataannya, PD tidak mampu bermain dalam tingkat masyarakat kelas bawah dan bahkan abai dalam usaha balas budi terhadap para pemilih dengan tidak adanya hubungan dengan masyarakat. Yang ada hanyalah kesibukan dalam menjalankan fungsi pada tingkat formal, bermain ditingkat elite dan bergusar pada pusat-pusat kekuasaan.

Kasus Nazaruddin dan Andi Nurpati merupakan secuil dari kejelekan prilaku para kader PD. Kemungkinan dibalik kebesaran PD, terdapat ratusan kader PD yang memanfaatkan kekuasaan. Mengingat kekuasaan adalah tumpukan keindahan yang dengan mudah orang tergoyah. Sebagaimana dikemukan John Emeric Edward Dahlberg Firts Baron Acton (1887), manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakannya, apalagi kalau kekuasaan itu absolut, pasti akan disalahgunakan. 

Karena itu, membaca fenomena partai yang dengan cepat menjadi besar merupakan sesuatu yang urgen dikala partai itu mengalami pelbagai gesekan problem yang mengancam masa depan. PD bisa saja akan turun menjadi partai yang mengambang (floating parties) yang tak menemukan arah karena hilangnya popularitas pemimpin dan minimnya hubungan dengan masyarakat bawah. Tak ada yang bisa menebak, satu saat PD akan menjadi partai yang terjebak pada tataran gigantisme, bongsor alias cepat besar namun juga cepat buram.

Wildani Hefni, pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di Koran Wawasan, Kamis 16 Juni 2011