Jumat, 25 Maret 2011

Bersekolah dengan Air Mata


Oleh Wildani Hefni

Judul : Nak, Maafkan Ibu Tak
Mampu Menyekolahkanmu
Penulis : Wiwid Prasetyo
Penerbit : Diva Press
Tahun : I, 2010
Tebal : 402 halaman
Harga : Rp46. 000
Sekilas melihat judul buku ini, refleks mesti kita ingat pepatah “kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang masa”. Tak ada orang tua yang menginginkan anaknya bodoh. Sungguh besar keinginan orang tua untuk membebaskan anaknya dari kungkungan kebodohan. Tentu jalan itu tak lain melalui pendidikan. Pendidikan adalah pendongkrak pemanusiaan manusia untuk selanjutnya diejawantahkan dalam ruang nyata. Naluri hewani juga akan terkikis oleh pendidikan.
Namun, apa jadinya, jika ribuan dan bahkan jutaan generasi muda yang memiliki kecerdasan luar biasa, memiliki prestasi yang menggunung dan motivasi serta etika yang membanggakan, tak mampu mengenyam pendidikan? Generasi muda yang kreatif, inovatif dan bahkan visioner yang siap menjadi pionir di bidangnya masing-masing, tidak memperoleh pendidikan yang benar-benar mampu memberdayakan? Bisa dipastikan mereka tak mampu untuk merealisasikan harapan dan mimpi-mimpinya.
Banyak faktor yang menyebabkan anak muda tak bisa mengenyam pendidikan. Bisa saja anak kaum mampu namun tak ada keinginan, ada juga anak kaum mampu namun lebih senang terjun dalam dunia bisnis. Sementara novel ini hadir menceritakan seorang Wenas, bocah miskin yang hidup dengan segala penderitaan.
Dalam kesehariannya, dia selalu menjerit kelaparan, merasakan kesakitan, perutnya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum.  Kelaparan sudah menjadi teman hidupnya. Dia hidup bersama seorang ibu yang juga tak memunyai pekerjaan. Ladang sawahnya gagal panen.  Tidak ada ayah, yang ada hanyalah Raga, sosok berpendidikan yang selalu memberikan semangat pada Wenas. Kemauan keras dan usaha untuk dapat mengenyam pendidikan, selalu menggema di hati Wenas.
Siapa sangka, dengan usaha yang kuat dari Wenas dan ibu semata wayangnya, ia mampu tersenyum untuk bisa sekolah. Kain sisa berwarna merah dan putih yang tidak terpakai, dijahit untuk dipakai seragam sekolah.
Kisah pilu Wenas ternyata tak berhenti, walaupun ia bisa meraih cita-cita tinggi untuk sekolah, ia kembali merasakan sebagai seorang siswa yang sedang mengais ilmu di sekolah hantu. Sebuah lembaga yang tentu menjadi momok bagi murid seperti Wenas karena biaya yang sangat tinggi.
Sekolah Semesta yang begitu angkuh dan hidup dari kebohongan, dibangun di atas puing-puing keserakahan, semangat kapitalisme untuk mengeruk banyak uang tanpa memperhatikan unsur pendidikan.
Melihat kenyataan itu, Wenas hanya bisa meneteskan air mata. Sekolah yang ia tempati membawa masalah pelik, menambah beban pikirannya. Bagi saya, novel ini mendatangkan pertanyaan, mengapa tak dibedakan antara si kaya dan si miskin? Mengapa tidak ada kompromi untuk orangorang miskin yang ingin mendapatkan pendidikan? Di mana letak keadilan kalau seperti ini?

Dimuat di Koran Jakarta, Jum’at, 17 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar