Jumat, 25 Maret 2011

Meruwat Tradisi Lebaran Ketupat


Oleh Wildani Hefni


Idul Fitri telah berlalu. Tujuh hari setelah Idul Fitri, masih ada satu tradisi yang tidak pernah ditinggalkan, khususnya bagi masyarakat Madura, yaitu tellasan katopa' atau Lebaran ketupat, yang dianggap sebagai pelengkap Idul Fitri.
Bagi masyarakat Madura, tellasan katopa' merupakan tradisi khas kultur budaya yang sudah mendarah daging. Perayaan Idul Fitri akan terasa hambar tanpa merayakan Lebaran kedua kalinya, yaitu tellasan katopa'. Tanpa ketupat ibarat sayur tanpa garam, terasa hambar, tidak ada kemeriahan.
Lebaran, dari kata lebar yang berarti selesai. Ketupat adalah salah satu makanan tradisional dari banyak ragam yang ada dan terasa lebih nikmat serta istimewa.
Masyarakat Jawa juga tentu mengenal jenis makanan ketupat ini, yang dalam bahasa Jawa disebut kupat. Ketupat adalah makanan yang dibuat dari beras dan dimasukkan ke dalam anyaman pucuk daun kelapa (janur) berbentuk kantong, kemudian ditanak, dan dimakan sebagai pengganti nasi.
Ketupat mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, terutama masa Lebaran. Biasanya dijajakan di pinggir-pinggir jalan atau di pasar dilengkapi dengan sayur, yang dikenal dengan sebutan katopa' sayur atau ketupat sayur.
Pada Lebaran ketupat, banyak keluarga yang menyajikan ketupat beserta opor bagi sanak keluarganya. Uniknya, ketupat itu memiliki asal usul dan filosofi mengenai budaya ketimuran di Indonesia. Ketupat sebagai karya budaya dikaitkan dengan suatu hasil dengan beraneka macam bentuk.

Aneka Bentuk

Dalam tradisi masyarakat Madura, terdapat aneka macam bentuk ketupat yang berfilosofi tinggi. Ada macam ketupat yang disebut katopa' bhebeng (ketupat bawang). Jenis ketupat ini berbentuk persegi empat panjang. Ketupat ini dianggap sebagai ketupat penyedap rasa, karena identik dengan sebutan bawang sebagai bumbu dasar dalam berbagai macam masakan.
Ada juga katopa' sangu (ketupat bekal). Bentuk ketupat ini hampir sama dengan ketupat bawang, hanya ukurannya lebih pendek. Ketupat ini dianggap sebagai masakan tahan lama yang senantiasa menemani dalam bepergian.
Jenis ketupat ini biasa dibuat sebagai bekal dalam perjalanan, karena tidak cepat basi, normalnya bertahan sampai dua hari atau tiga hari. Kemudian ada jenis katopa' toju' (ketupat duduk). Jenis ketupat ini menjadi ruh moral kebanggaan orang Madura.
Mengapa? Ketupat tersebut mendiskripsikan bagaimana orang duduk, aselah (bersila-sopan) dihadapan orang lain. Moral menjadi ujuk tombak masyarakat Madura. Tradisi kental dengan saling asah, asih, dan asuh walaupun masyarakat Madura dikenal dengan masyarakat keras.
Ketupat juga merupakan ungkapan budaya dan merupakan simbol yang di dalamnya terkandung makna dan pesan tentang kebaikan. Sebagai ungkapan budaya, ketupat antara lain memberikan makna dan pesan.
Salah satu maknanya adalah, ketupat terdiri dari beras yang dibungkus janur. Nah, beras itu ternyata adalah simbol nafsu dunia. Sedangkan janur, dalam bahasa Jawa adalah akronim dari jatining nur atau bisa diartikan hati nurani. Jadi ketupat adalah simbolik dari nafsu dunia yang dapat ditutupi oleh hati nurani. Pesan yang terkandung, kira-kira adalah setiap orang itu harus bisa mengendalikan diri yaitu menutupi nafsu-nafsu dunia dengan hati nurani.
Dalam filosofi Jawa yang lain, kupat berarti ngaku lepat atau mengakui kesalahan. Tindakan ngaku lepat ini jadi kebiasaan yang sekarang selalu kita lakukan pada tanggal 1 Syawal yaitu bermaaf-maafan dengan keluarga maupun tetangga.
Masih dari filosofi orang Jawa, kupat dapat diartikan dengan laku papat atau empat tindakan. Laku papat itu adalah lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Maksud dari keempat tindakan tersebut, yang pertama adalah lebaran, dari kata lebar yang berarti selesai. Ini dimaksudkan bahwa 1 Syawal adalah tanda selesainya menjalani puasa, maka tanggal itu biasa disebut dengan Lebaran.
Lalu luberan, berarti melimpah, ibarat air dalam tempayan, isinya melimpah, sehingga tumpah ke bawah. Ini simbol yang memberikan pesan untuk memberikan sebagian hartanya kepada fakir miskin, yaitu sedekah dengan ikhlas seperti tumpahnya/lubernya air dari tempayan tersebut.
Kemudian leburan, maksudnya adalah bahwa semua kesalahan dapat lebur (habis) dan lepas serta dapat dimaafkan pada hari tersebut. Adapun yang terakhir adalah laburan. Di Jawa, labur (kapur) adalah bahan untuk memutihkan dinding.
Ini sebagai simbol yang memberikan pesan untuk senantiasa menjaga kebersihan diri lahir dan batin. Jadi, setelah melaksanakan leburan (saling maaf-memaafkan), ada pesan yang dapat kita ambil yaitu menjaga sikap dan perilaku yang baik sehingga dapat mencerminkan budi pekerti yang baik pula.


Tulisan ini dimuat di Kompas Jateng, edisi Kamis 16 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar