Jumat, 25 Maret 2011

Kerangka Islami Konstitusi Indonesia


Oleh Wildani Hefni

Judul : Syarah Konstitusi UUD 1945 Dalam Perspektif Islam
Penulis : Masdar Farid Masudi
Penerbit : Pustaka Alvabet, Jakarta
Cetakan : I, Desember 2010
Tebal : xxxi + 198 halaman

                Kekerasan demi kekerasan terus menghantui negara kita. Penganut agama yang satu saling bersitegang dengan penganut agama lain dengan mengklaim diri paling benar. Bahkan, sesama agama seperti Islam, berlomba-lomba mewujudkan keyakinannya.
Akar dari kekerasan yang dilakukan sekelompok orang terhadap kelompok minoritas di Indonesia adalah pertarungan ideologi antara Islam transnasional dan Islam kebangsaan. Sebagian kelompok memperjuangkan formalisasi syariat Islam dengan keinginan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Pada tahun 2006, ada tiga gerakan yang menginginkan syariat Islam yaitu Hisbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Komite Persiapan Pemberlakuan Syariat Islam (KPPSI). Sebelumnya, saat reformasi 1998 sampai Agustus 2002, gerakan politik resmi di DPR/MPR juga menghendaki agar Indonesia menjadi negara Islam dengan menjadikan piagam Jakarta sebagai dasar negara.
Tidak sedikit kalangan yang menganggap konstitusi Indonesia begitu berlawanan jauh dari nilai-nilai Islam. Mereka melihat secara sosiologis bahwa umat Islam di Indonesia adalah mayoritas sehingga harus menjadi negara Islam.
Di benak kita, timbul satu pertanyaan, apakah fondasi negara Indonesia sudah sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang multi agama, multiras, multietnis dan multibudaya?
Buku berjudul Syarah Konstitusi UUD 45 dalam Perspektif Islam, karya Masdar Farid Mas'udi, menawarkan pendekatan kultural yang produktif dan konstruktif khususnya dalam pengisian nilai-nilai keindonesiaan dalam kerangka Pancasila dan UUD 45. Buku ini adalah suatu upaya untuk menjawab akan kegelisahan beberapa kalangan terutama sebagian umat Islam yang kerap muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Masdar menjelaskan, para pendiri bangsa ini, tidak sembarangan dalam upaya membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka mempelajari berbagai konstitusi negara-negara yang mapan seperti Amerika Serikat, Jepang, Prancis, Inggris, Jerman dan Belanda guna menyusun sebuah konstitusi sebagai way of life berbangsa dan bernegara.
Para founding fathers membentuk undang-undang di atas bangsa yang majemuk. UUD 45 dengan mukaddimahnya mengandung lima sila Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara yang sudah final dengan kekhasan tata nilai masyarakat Indonesia sendiri.
UUD 45 berdiri di negara Indonesia yang berpenduduk mayoritas Islam, memang seyogyanya menampilkan kesesuaian antara nilai-nilai substantif keislaman dan nilai-nilai dasar konstitusi.
Dengan begitu, umat Islam Indonesia diharapkan tidak lagi melihat kesenjangan antara keislaman dan keindonesiaan. Ini begitu penting mengingat pelbagai kesenjangan dalam pekan terakhir ini marak terjadi di Indonesia, khususnya dalam masalah kerukunan antar umat beragama.
Masdar menguraikan, dalam pembukaan UUD 1945 tertulis: bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Kata kemerdekaan diartikannya berasal dari kata merdeka yang dalam bahasa arabnya adalah hurriyah atau istiqlal, antonimnya adalah tertekan (mukrah) atau terjajah (mustabad). Hurriyah bukan kemerdekaan sesuka hati. Namun, manusia secara sadar bebas memilih untuk mempercayai atau tidak kepada sesuatu. Sesuai dengan ajaran Islam yang tertuang dalam QS. Yunus 99 dan QS. Al-baqarah 256. Sama halnya dengan kata: Ketuhanan yang Maha Esa. Semua agama pada dasarnya mengajarkan ke-esaan Tuhan (tauhid). Bersama dengan konsep lain, konsep ketuhanan yang maha esa ini membentuk satu kesatuan dasar negara republik Indonesia yang dikenal dengan pancasila.
Secara harfiah, berarti lima dasar atau dengan istilah fikih Islam adalah al-kulliyat al-khams bagi bangsa Indonesia yaitu Ketuhanan yang Maha Esa sebagai landasan spritual, Kemanusian yang Adil dan Beradab sebagai landasan moral dan etik, Persatuan Indonesia sebagai landasan sosial, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah dalam Permusyawaratan Perwakilan sebagai acuan politik dan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia sebagai tujuan bersama dalam bernegara.
Akhirnya, buku ini dapat menyadarkan kita bahwa tantangan yang kita hadapi bukanlah memperjuangkan formalisasi negara Islam, melainkan bagaimana merealisasikan nilai dan aturan konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara adil, jujur, damai dan konsekuen.


Dimuat di Jurnal Nasional, Rabu, 09 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar