Sabtu, 09 Juli 2011

Menyingkap Tabir Tuhan


Oleh Wildani Hefni

Judul : Masa Depan Tuhan, Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme
Penulis : Karen Armstrong 
Penerbit : Mizan 
Tahun : I, Juni 2011
Tebal : 608 halaman


Ditengah pelbagai problematika kronis yang sedang menimpa bangsa ini, manusia tak henti-hentinya menuntut dan berdemonstrasi pada Tuhan dengan omelan-omelan yang kasar. Memang tidak bisa dimungkiri, manusia akan selalu berpikir tentang eksistensi Tuhan. Menalar Tuhan merupakan kegiatan kuriositas manusia. Puncaknya, manusia cendrung menjinakkan dan memiara keberbedaan Tuhan. 

Manusia meminta Tuhan memberkati bangsa, menyelamatkan pemimpin, menyembuhkan penyakit. Namun, di sisi lain, justru Tuhan dipelintir menjadi alat “sokongan”. Politikus mengutip nama Tuhan untuk membenarkan kebijakan mereka, para teroris membajak nama Tuhan untuk melegitimasi perbuatan kejam mereka, dan para koruptor membawa nama Tuhan untuk melegalkan tindakan mereka. Tuhan ditafsirkan dalam wujud non-transenden yang bisa dijangkau.

Tafsiran yang dirasioanalkan atas nama agama ini menghasilkan dua fenomena modern yang sangat khas, yaitu fundamentalisme dan ateisme. Fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham, atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai fondasi. Sementara ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi. Keduanya saling berkaitan. Kesalehan defensif yang populer dengan gejala fundementalisme ini telah menyebar dalam semua agama besar dan mengemuka selama abad ke-20.

Buku karya Karen Armstrong ini menunjukkan pembelaan terhadap Tuhan dan agama. Menentang fundamentalisme dan ateisme. Argumentasi yang dikemukakan Armstrong mampu meruntuhkan sejumlah pendapat kaum ateis yang dengan gagah menyatakan bahwa Tuhan telah mati.

Di berbagai penjuru dunia, kenyataan menunjukkan bahwa agama-agama sedang mengalami kebangkitan. Dampaknya terasa di pelbagai bidang: politik, sosial, dan ekonomi. Namun, pada saat yang sama, skeptisisme dan nihilisme terhadap Tuhan dan agama pun terasa meningkat sebagai respons terhadap perkembangan itu. 

Armstrong, yang pernah dianugerahi Franklin J. Roosevelt Four Freedom Medal untuk karyanya tentang kebebasan beragama, dalam buku ini tampil lebih tegas mendukung agama dari serangan bertubi-tubi fundamentalisme maupun pemikir ateisme semacam Richard Dawkins, Christopher Hitchens, dan Sam Harris. Armstrong memperlihatkan kesejajaran antara ateisme gaya Dawkins dan fundamentalisme kontemporer.

Pada bagian pertama, Armstrong menjelaskan nilai substantif ajaran agama yang seringkali dipahami oleh sekelompok orang yang mencoba memahami Tuhan dari pelbagai persepktif. Dalam bagian kedua, Armstrong tampak menelusuri kebangkitan Tuhan modern yang menggulingkan banyak persangkaan pada agama tradisional. 

Dalam aturan beragama, tidak ada gunanya menimbang ajaran-ajaran agama secara otoritatif untuk menilai kebenaran atau kepalsuan sebelum menjalani cara hidup religius. Ketika berenang dalam lautan agama, secara perlahan akan menyilami dan mulai mengenal Tuhan. Tuhan adalah wujud tertinggi, kepribadian ilahi yang menciptakan segalanya.

Orang tentu akan berpikir bahwa secara teoritis menjangkau Tuhan adalah hal yang transenden. Namun Armstrong berusaha menyingkap tabir Tuhan dengan mendedah pelbagai argumentasi untuk melawan dan menyanggah kaum fundamentalisme dan ateisme yang kerapkali mengobok Tuhan. 

Buku kesekian kali dari seorang penulis yang sukses sebagai penyebar semangat keberagamaan yang penuh cinta kasih ini, memberikan perspektif baru agar kita melihat masalah-masalah tentang Tuhan dan agama secara lebih bijak agar kita tak terjerumus dalam sikap kekerasan yang tidak toleran, khususunya dalam dunia religiositas yang sedang marak saat ini.

Armstrong sebagai mantan biarawati dengan gigih lewat bahasa khas, yang kental dengan filosofi, mampu menjawab perihal masa depan Tuhan. Tuhan tak akan bisa dijugkirbalikkan dengan sokongan-sokongan yang hanya ingin melejitkan legitimasi kelompok atau perorangan.

Karena itu, bagi Armstrong, Tuhan akan datang bukan karena permohonan kita, tapi Tuhan akan datang karena kebutuhan kita. Akhirnya, Tuhan memberikan sesuatu bukan karena permintaan kita, tapi Tuhan memberikan sesuatu karena kebutuhan kita. Selamat membaca!

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di KORAN TEMPO, Minggu, 10 Juli 2011

Jumat, 08 Juli 2011

Jurnalisme Pembocor Pornografi Politik


Oleh Wildani Hefni

Judul : Wikileaks Situs Paling Berbahaya di Dunia
Penulis : Haris Priyatna
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : I, Maret 2011
Tebal : 240 halaman

Tidak ada yang bisa disalahkan dalam hiruk-pikuk Wikileaks karena ia telah menjadi titik episentrum gempa politik baru. Dagelan global seputar bocoran kawat diplomatik yang dipublikasikan di pelbagai surat kabar dunia, membuka mata akan paronia konspirasi tingkat tinggi. 

Pada Desember 2006, Wikileaks membeberkan dokumen pertamanya tentang keputusan Pengadilan Islam Somalia. Pada April 2010, kembali merilis video rekaman pembantaian terhadap 12 warga Irak oleh tentara Amerika di Bahgdad. Kemudian lebih dalam lagi, memajang 91.000 dokumen rahasia milik Pentagon tentang perang Afghanistan. 

Wikileaks juga membeberkan pornografi politik Indonesia lewat dua surat kabar yang terbit di Australia, The Age dan Sydney Morning Herald. Publik Indonesia sempat kewalahan ketika presiden republik ini ditelanjangi dalam bocoran kawat Wikileaks. Bayangkan saja, presiden SBY dipublikasikan bahwa ia telah melakukan korupsi, penyelewengan kekuasaan, serta mengintervensi jaksa dan hakim untuk melindungi sejumlah politisi korup dan menghantam rival-rivalnya.

Wikileaks adalah organisasi nonprofit yang bertujuan menyajikan informasi kepada publik melalui media massa ke seluruh dunia. Ia lahir menjadi alat jurnalistik penting sesuai undang-undang kemerdekaan informasi. Secara lantang, wikileaks menjadi jurnalisme yang menampar siang bolong atas ranjau sensor, ketertutupan, dan kerahasiaan dokumen berbagai negara dan perusahaan internasional. 

Buku ini dengan jeli meyakinkan bahwa kawat-kawat bocoran Wikileaks itu bukan dokumen sembarangan, tingkat akurasinya tak perlu dipertanyakan. Ia menjelma menyuguhkan fakta dan kebenaran dengan misi tanpa kekerasan (cyberweapon). Ditulis para diplomat berdasarkan konversasi ataupun pengamatan di negara penempatan. Sulit meragukan kredibilitas isi kawat karena—seperti berita yang ditulis wartawan atau hasil riset peneliti—dicek silang, dirapatkan, diperiksa atasan, dan diverifikasi sebagai dokumen negara.

Buku besutan Haris Prayitna ini mampu menghadirkan pertautan panas antara Indonesia dengan Wikileaks. Indonesia mengalami ketakutan akan bocoran-bocoran Wikileaks, karena Wikileaks bukan hanya organisasi gertak sambal melainkan jurnalisme yang memainkan  fungsi cyber-investigative jurnalism dan cyberresistance di dunia virtual politik yang membangun kekuatan dan dukungan jaringan global. Membalut diri menjadi media komunikasi dan informasi yang esensial dalam kehidupan bernegara.

Yang menarik dari buku ini adalah penelusuran akan kehidupan pendiri Wikileaks yaitu Julian Assange. Berkat kecerdasan pria kelahiran Townsville pada 1971 dan modal IQ lebih dari 170, ia mampu memancing sensasi di belahan dunia dengan gaya hacktivist. (hal 187).

Akhirnya, Wikileaks mendapat dukungan dari lima media besar dunia yaitu The New York Times, The Guardian, Le Monde, Der Speigel dan El Pais. Maka dengan tajam, Wikileaks menyorot pelbagai konspirasi perang, korupsi korporasi, suap-menyuap bisnis, tekanan-tekanan politik serta kelaliman para pemimpin. Bermarkas di Inggris dengan kombinasi wartawan terpercaya, software programmer, network engineer dan matematikawan. Jaringan Wikileaks terus meluas dengan dibantu oleh Daniel Schimitt (Jerman), Rop Gonggrijp (Belanda), dan Brigitta Jonsdottir (Islandia).

Wikileaks berani mempublikasikan 251. 287 kawat-kawat diplomatik pemerintah Amerika Serikat dan mempublikasikan kedutaan Besar AS di Jakarta dan Konsulat di Surabaya. Dokumen yang diungkap adalah komunikasi rahasia antara 27 konsulat dan utusan-utusan diplomatik AS di seluruh dunia. 

Dalam salah satu dokumen yang berhasil dipublikasikan, Wikileaks menggambarkan dunia seks, narkoba dan rock n roll di balik kesalehan formal kerajaan Arab Saudi. Di tengarai, terdapat tradisi pesta Halloween di bawah  tanah. Hadir beribu-ribu perempuan pelacur yang penuh dengan hamburan minuman keras. (hal 100)

Buku ini mengulas semua bentuk kebobrokan yang mewarnai dunia internasional: korupsi, kebohongan politik, pembungkaman pers, kerusuhan, pembunuhan, politisi agama, dan kedegilan para pemimpin kelas dunia. Penulis tidak hanya berhenti menghujat berbagai kejahatan internasional dan membongkar mekanismenya, namun juga menampilkan sebuah perlawanan agresif terhadap dominasi korporasi raksasa dan hegemoni pemerintah despotik.

Alhasil, buku ini mampu menyadarkan semua orang bahwa sensor dokumen, ketertutupan, kebohongan, dan pelbagai konspirasi tingkat tinggi yang banyak muncul dengan sporadis, harus segera diungkap kepada publik secara berkala dan bermanfaat untuk riset ilmiah atau jurnalisme investigatif terhadap pornografi politik internasional.

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di GP Ansor, Jum'at, 8 Juli 2011

Selasa, 05 Juli 2011

Memoar Nilai Subtansial Pancasila



Oleh Wildani Hefni

Judul : Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
Penulis: Yudi Latif
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, April 2011
Tebal : xxviii + 667 halaman

Indonesia bisa dibilang tengah dan sedang gundah dan galau. Pelbagai permasalahan kronis bertubi mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Neo liberal yang ekstrem dan gerakan radikal bernuansa agama yang ingin mengubah negara Indonesia menjadi negara Islam, perlahan menjelma menusuk dan membajak pilar-pilar bangsa, termasuk pancasila.

Pancasila kembali menjadi persolan akut setelah negeri ini diterpa pelbagai permasalahan. Ini menunjukkan bahwa ada gerakan manifesto yang berusaha menghapus kesaktian pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Buku ini hadir menasbihkan diri sebagai gerakan melawan pelupaan terhadap kesaktian pancasila.

Yudi Latif melakukan penggalian dan penjelmaan semangat dasar Pancasila. Basis moralitas dan haluan kebangsaan kenegaraan pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat. Dengan menelisik kembali risalah-risalah persidangan BPUPK dan PPKI sejak 29 Mei hingga 18 Agustus 1945, Yudi menemukan dua perspektif baru. Pertama, mutiara-mutiara pemikiran cemerlang para founding fathers bangsa mengenai Pancasila. Kedua, tindakan epistimologis yang berbasis aksiologis dari setiap statemen, perkataan, pemikiran, ataupun perdebatan yang muncul selama masa persidangan. Ternayata, founding fathers tidak serta merta menelurkan pancasila, namun melalui formasi diskursif untuk dinobatkan sebagai dasar ideologis negara Republik Indonesia.

Romantisme, imajinasi, kelakar, dan ueforia mengenai sebuah tatanan politik, yakni mengenai sebuah negara-bangsa (nation-state), dihadirkan kembali dalam konteks ketika mentalitas-kolektif zaman kolonial masih bercokol kuat. Historisitas pancasila direkonstitusi bahkan didekonstruksi secara mendalam untuk mendedah nilai-nilai substantif yang terkandung didalamnya. Pancasila berhasil dipandang sebagai ideologi kebangsaan, dasar negara dan konsesus yang tentunya dapat menjadi pegangan bagi semua. Pancasila dinilai layak untuk ditempatkan secara luhung sebagai moral value. 

Dalam konsep ketuhanan, misalnya, Yudi mengungkap bahwa ketuhanan dalam kerangka pancasila menyerupai konsep agama sipil (civic religion) yang bisa melibatkan nilai-nilai moral universal agama-agama. Bagaimana menjadikan nilai-nilai moral ketuhanan sebagai landasan realitas kehidupan, dicerna dan diolah dengan baik. Dengan akumulasi rasio, perpaduan nilai-nilai kebangsaan dan religiusitas mesti memunculkan peradaban bangsa yang agung. (halaman 110). 

Proses monumentasi ini mampu dengan lantang menunjukkan kekuatan monumental pancasila. Pancasila bukanlah hasil penggalian atas elemen-elemen filosofi bangsa an-sich, melainkan terdapat sintesa kreatif antara declaration of American Independence dan Manifesto Komunis (halaman 47). Terbentuknya ideologi pancasila hanya dapat dipahami dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk dan multi-agama. Apa yang sampai hari ini mempersatukan kemajemukan komunitas di seantero wilayah Indonesia adalah kesaktian nilai substantif pancasila.

Pancasila perlahan mengantarkan pengakuan politik (political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin kehidupan damai dan produktif. Pancasila juga tidak memisahkan antara kekuasaan yang bersifat sakral dan profan, yang transenden dan imanen. 

Refleksi atas setiap sila pancasila sebagai monumen-monumen yang masing-masing maupun keseluruhannya, mampu meracik totalisasi atas masa lalu, masa kini, dan masa depan. Substansi pancasila merupakan ketentuan yang berlaku umum yang berkedudukan sebagai staatsfundamentalnorm. Dengan asumsi pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dan melekat dalam bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut telah diakui kebenarannya serta menjadi pedoman hidup (way of life). Maka pancasila adalah manifestasi isi dari berbagai ketentuan yang berlaku umum sehingga nilai nilai tersebut merupakan isi dari hukum.

Kaitannya dengan radikalisme agama, Yudi menganggap bahwa secara konsepsional, pancasila telah menjadi bahan kompromi antara aspirasi kalangan Islam yang menghendaki identitas Islam dimunculkan dalam perundangan dengan aspirasi kelompok nasionalis yang menginginkan akan ruang pemisahan antara Islam dan negara. Maka bangsa harus mampu merealisasikan nilai dan aturan konstitusi Indonesia untuk menghadirkan playing field yang fair dalam kemajemukan. 

Kekuatan pancasila sebagai imajinasi negara jika dapat dipahami, dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara konsisten, niscaya dapat mewujudkan akan imaji kolektif pencapaian agung peradaban bangsa menuju terwujudnya negara paripurna. 

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dilansir dari GP Ansor, Selasa, 5 juli 2011

Sabtu, 25 Juni 2011

Sepak Terjang Salafi Wahabi



Oleh Wildani Hefni

Judul : Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik, Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi
Penulis : Syaikh Idahram
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : I, April 2011
Tebal : 306 halaman

Adagium yang mengatakan bahwa buku adalah pengikat ilmu, tak ada yang membantah. Tak heran, jika buku menjadi senjata ampuh yang paling efektif bagi kelompok Salafi Wahabi dalam mengarahkan umat kepada paham yang mereka inginkan.

Gerakan Wahabiyah yang sampai sekarang merupakan paham atau aliran keagamaan yang dianut dan diterapkan oleh Kerajaan Saudi, dengan gencar melakukan penyebaran Wahabisme. Penyebaran itu lewat pemberian dana dan bantuan lainnya kepada institusi, organisasi dengan membagi-bagikan literatur Islam khususnya karya Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1702-1791) dan Ibnu Taymiyyah (1263-1328), yang merupakan sumber pokok Salafi Wahabi.

Dalam ideologi Salafi Wahabi telah terpatri sebuah ideologi supremasi bahwa mereka selalu merasa lebih unggul dan superior disertai sikap arogansi diri yang didalamnya terkandung perasaan selalu benar ketika berhadapan dengan kelompok atau pendapat orang lain. Jelas bahwa orientasi kelompok Salafi Wahabi tak lain adalah kelompok yang selalu merasa lebih unggul dan kekuasaan simbolik yang tak kenal kompromi walaupun sesama muslim.

Itulah ideologi Salafi Wahabi yang cendrung saling menyalahkan dan menuduh umat Islam lain telah menyimpang dari ajaran Islam sebenarnya. Bahkan yang sangat memiriskan, temuan buku ini mengungkap dengan jelas bahwa kelompok Salafi Wahabi telah melakukan pemusnahan dan pembakaran buku, sengaja meringkas, mentahqiq, mentakhrij kitab-kitab hadits yang tak mereka sukai, menghilangkan hadits-hadits yang tak sesuai dengan paham mereka. Lebih tragisnya, kelompok Salafi Wahabi telah melakukan pembajakan atas karya-karya Ulama klasik, melakukan intimidasi dan provokasi, membeli manuskrip, menyogok penerbit sampai pada pencurian buku-buku induk untuk dihilangkan sebagian isinya atau dimusnahkan segalanya.

Buku ini dengan lantang membuka kedok kebohongan Salafi Wahabi dalam menyebarluaskan ajarannya. Tidak aneh, jika Salafi Wahabi begitu konsen dalam ranah perbukuan, penerbitan, dan penerjemahan. Pelbagai jenis buku, baik kertas ataupun e-book digital mereka cetak untuk dibagikan secara gratis. Mereka mengarang-ngarang hadits dan pendapat para Ulama sebagai upaya memperjuangkan akidah Salafi Wahabi yang mereka yakini paling benar. Sepak terjang doktrin Salafi Wahabi memang begitu bengis dan degil.

Buku kedua dari Trilogi Data dan Fakta Penyimpangan Salafi Wahabi karya Syaikh Idahram ini, kembali membuat kita merinding seakan tak percaya, tapi itutah kenyataannya. Sebuah realitas tentang Salafi Wahabi dikupas tuntas dengan bahasa sederhana, mudah dan enak dibaca.

Pemalsuan, penyelewengan, perusakan dan pelenyapan terhadap buku-buku karya Ulama Islam merupakan jalan terjal Salafi Wahabi. Ini tentu tidak lepas dari doktrin-doktrin guru salafi Wahabi seperti Muhammad Ibnu Abdul Wahab, Ibnu Taymiyyah, Abu Ubaidah Masyhur Ibnu Hasan Alu Salman dan Ibnu Qayyim Al-jauziyah. Bahkan Ibnu Taymiyyah mengeluarkan fatwa untuk membakar buku-buku Ulama Islam yang bertentangan dengan ideologi Salafi Wahabi. (hal 27)

Tak ayal, kelompok Salafi Wahabi dengan dana yang cukup besar melobi para pemilik percetakan untuk menyelewengkan teks-teks kitab-kitab turats dan manuskrip dari teks aslinya. Baik itu hadits, tafsir, fikih, akidah, sejarah, lughah, maupun ibarat para Ulama. Dengan detail, buku ini menyebutkan bentuk-bentuk penyelewangan Salafi Wahabi. Pada tahun 1224, mereka membumihanguskan perpustakaan al-Aidrusiyah dan al-Handawaniyah di Hadramaut Yaman, dimana puluhan ribu manuskrip tersimpan didalamnya. Kemudian pembakaran 60.000 buku-buku langka di perpustakaan Maktabah Arabiyah, Makkah. (hal 38)

Yang mengejutkan, mereka juga mentakhrij dan meringkas kitab-kitab hadits. Misalnya kitab Shahih Bukhari, Musnad Ahmad, dan Shahih Muslim, diringkas dan banyak hadits-hadits penting yang dibuang karena dianggap tidak sesuai dengan paham mereka. Begitu juga dengan kitab tafsir Hasyiyah al-Shawi ala Tafsir Jalalain, kitab Al-Adzkar karya Imam Nawawi dan kitab al-Ibanah karya Imam Asy’ari. (hal 73)

Dengan itu, buku ini patut menjadi bahan pustaka kritis mengungkap informasi penting yang selama ini agak tertutup atau mungkin ditutup-tutupi. Dikupas dengan akurat dan ilmiah yang dapat dibuktikan akan kebenerannya karena kasus penyeleweangan demikian juga telah diakui oleh Ulama-ulama kenamaan di Timur Tengah. Diantaranya mufti Mesir, Prof. Dr. Ali Jum’ah, tokoh Ulama Syiria Abdullah al-Harari al-Habasyi, tokoh Ulama Maroko Ahmad al-Ghimari, tokoh ulama Tasawuf di Mekkah, Muhammad ibnu Alawi al-maliki dan ulama-ulama lainnya. 

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di GP Ansor, Jum’at, 24 Juni 2011

Ratna Sari Dewi dalam Pelukan Sukarno



Oleh Wildani Hefni

Judul : Ratna Sari Dewi Sukarno, Sakura di Tengah Prahara
Penulis : M Yuanda Zara
Penerbit : Ombak Yogyakarta
Tahun : I, 2011
Tebal : xvi + 260 halaman


Kerapkali orang berasumsi bahwa love is blind alias cinta itu buta. Cinta buta ini cenderung membuat orang mabuk kepayang, tindak-tanduknya tanpa logika dan pertimbangan sama sekali. Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi. Tak jarang, orang yang sedang jatuh cinta kebanyakan melakukan kegiatan aktif berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang kepada yang dicintai.

Nostalgia demikian ternyata pernah dialami oleh presiden pertama Indonesia, Sukarno. Tak banyak orang tahu, Sukarno sempat terpesona pada sosok perempuan cantik saat melakukan kunjungan kenegaraan ke Tokyo pada tahun 1959. Perempuan itu adalah Ratna Sari Dewi, bernama asli Naoko Nemoto. 

Buku ini menjadi bukti bahwa Sukarno tak hanya tertarik pada dunia politik, namun ia juga menempatkan perempuan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan buku ini juga memberikan informasi penting terkait kisah cinta Sukarno dengan perempuan-perempuan cantik asal Jepang. Dalam penulusuran sejarah yang dilakukan Yuanda Zara, sebelum menjalani hubungan dengan Dewi, ternyata Sukarno pernah memiliki hubungan spesial dengan perempuan bernama Sakiko Kanase. Namun hubungan keduanya tak berlanjut karena munculnya seorang Naoko Nemoto.

Peristiwa besar terkait pampasan perang yang dialami Indonesia dari Jepang pada tahun 1950-an, menyebabkan Indonesia menderita dan mengajukan tuntutan kepada Jepang untuk membayar kerugian. Selama beberapa tahun, Indonesia dan Jepang seringkali melakukan lobi-lobi penting.

Pada tahun 1959, Sukarno dan rombongannya berkunjung ke Jepang yang juga masih dalam urusan harta pampasan perang. Untuk menunjukkan ikraman li al-dhuyuf (menghormati tamu), tuan rumah menjamu rombongan Sukarno dengan pelayanan yang terbaik. Karena itu, Akasaka’s Copacabana menjadi tempat refreshing rombongan Indonesia setelah letih melakukan perundingan. Ditempat inilah Sukarno kali pertama bertemu dengan Dewi pada Jum’at malam, 16 Juni 1959.

Pertemuan itu meninggalkan kesan dibenak masing-masing. Tampaknya, Sukarno mulai jatuh hati kepada Dewi. Long distance relationship alias hubungan jarak jauh antara Jepang dan Jakarta, tak menjadi halangan bagi sang pemimpin besar revolusi. Sukarno mengirimkan surat-surat mesra kepada Dewi melalui kedutaan besar RI yang ada di Tokyo.

Kepiawaian seorang Yuanda Zara dalam meracik isi buku ini membuat para pembaca seakan terenyah dan meresapi setiap usaha Sukarno untuk membawa Dewi dalam pelukannya. Didasari perasaan cinta yang kuat dalam diri Sukarno, tak tanggung-tanggung ia mengundang Dewi untuk hadir ke Indonesia. Awalnya Dewi tak meladeni tawaran itu. Namun, bujukan dari sosok Kubo Masao, seorang pengusaha yang mempunyai niatan menguras uang Sukarno dan memperlancar bisnisnya di Indonesia, perlahan ia membujuk Dewi untuk datang ke Indonesia. Kahirnya, Dewi menyetujuinya.

Ketika Dewi berada di Jakarta, ia mulai sadar bahwa keberadaannya dimanfaatkan oleh Kubo Masao untuk memperlancar usaha bisnisnya di Indonesia. Maka pada tahun 1962, akhirnya hubungan Dewi dan Kubo Masao memburuk karena Dewi merasa tidak nyaman dikendalikan dan disetir oleh Kubo Masao.

Membaca buku ini terasa seperti mengendarai mobil sport yang melesat di jalan mulus: seru, tegang, girang, adrenalin melejit hingga ke titik orgasmik. Kisah percintaan Sukarno dan Dewi seakan terekam dalam adegan fiktif yang dikendalikan seorang produser, tapi itulah kenyataannya.

Setelah menjalani percintaan backstreet sedemikian lama dan penuh suka duka, akhirnya Sukarno dan Dewi memutuskan untuk menikah. Sepanjang penelusuran dari buku ini, tidak ditemukan kejelasan tanggal menikahnya Sukarno dan Dewi. Namun ada yang berpendapat, keduanya menikah pada tanggal 3 Maret 1962 yang pada saat itu pula, Dewi bersyahadat menganut agama Islam. Juga pada tanggal inilah, sosok Dewi yang aslinya bernama Naoko Nemoto diganti oleh Sukarno menjadi Ratna Sari Dewi Sukarno. 

Meski beda usia yang terpaut jauh, Sukarno berusia 66 tahun dan Dewi masih 22 tahun, keduanya tampak mesra dalam rasa cinta yang menggelora laiknya kisah kasih anak remaja. Kecintaan Sukarno terlihat dalam sebuah surat semi puisi yang ditulisnya pada tanggal 6 Juni 1962, surat itu bertuliskan : Kalau aku mati, kuburkanlah aku di bawah pohon yang rindang. Aku mempunyai istri yang aku cintai dengan segenap jiwaku. Namanya Ranta Sari Dewi. Kalau ia meninggal, kuburkanlah ia dalam kuburku. Aku menghendaki ia selalu bersama aku.

Setidaknya, buku ini mampu mengumbar akan sejarah percintaan Sukarno dengan para isteri-isterinya. Buku ini patut dibaca oleh mereka yang sedang memangku jabatan strategis untuk tak gampang jatuh hati kepada seorang perempuan yang justru akan menenggelamkan karir, loyalitas, kredibilitas, dan integritas kepribadiannya. Jika tidak mampu hidup seperti Sukarno, maka jangan pernah mencoba untuk bermain api dengan perempuan.

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di Radar Surabaya, 26 Juni 2011