Jumat, 25 Maret 2011

Momentum Intervensi Kemanusiaan


Oleh Wildani Hefni

Tangal 31 Mei 2010 telah dinyatakan sebuah deklarasi perang terhadap kemanusiaan ketika pasukan komando rezim ilegal Zionis Israel membajak dan menyerang kapal-kapal penumpang sipil Armada kebebasan (Freedom Flotilla) yang membawa bantuan kemanusiaan untuk Jalur Gaza di wilayah perairan internasional. Tindakan biadab ini merupakan tindakan terorisme yang amat keji. Ironisnya, tindakan terorisme tentara Israel itu justru dipimpin oleh Ehud Barak, perdana menteri negeri Yahudi tersebut.
Selain merupakan pelanggaran hukum internasional, hal ini juga merupakan seruan kebangkitan (wake up call) bagi setiap hati nurani yang saat ini sekarat di hadapan sikap apatisme. Ada beberapa pelanggaran yang telah dilakukan Israel dalam tragedi ini.
Pertama, pelanggaran mencolok terhadap hukum-hukum internasional yaitu konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1988/1992 Pasal 87 a, 88, 89 dan 90, konvensi PBB tentang penanganan tindakan-tindakan ilegal melawan keselamatan navigasi maritim (SUA Convention) 1988 yang melarang pengambilan kapal di lautan lepas atau tindakan kekerasan terhadap para penumpang.
Kedua, penggunaan kekerasan yang mematikan terhadap warga sipil tak bersenjata merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Ketiga, tindakan menyerang kapal berbendera negara tertentu di atas laut lepas merupakan pelanggaran terhadap wilayah kedaulatan negara tersebut sesuai dengan 6.1 SUA Convention sehingga Israel patut dianggap telah melakukan kejahatan agresi (crime of aggression).
Tudingan bahwa Israel is the real terrorist memberikan pembenaran terhadap penggunaan istilah Israel sebagai negara terorisme (state terrorism) dan sepertinya masuk akal. Misalnya, kejahatan jenosida (genocide) kejahatan perang (war crime), kejahatan kemanusiaan (crime against humanity), dan kejahatan agresi yang mengancam perdamaian dan tata tertib dunia (crime of aggression that threatens world peace). Tindakan dan kebijakan pemerintahan Israel yang bertentangan dengan nilai-nilai universal HAM tidak dapat dimungkiri sejak negara itu diproklamasikan 15 Mei 1948.
Modus Israel
Dalam perjalanannya, zionisme menggunakan prinsip-prinsip rasis dan menghalalkan semua cara, termasuk terorisme sebagai modus operandi utama untuk membangun negara Yahudi. Perihal rasisme kaum Yahudi, PBB bahkan pernah mengeluarkan Resolusi Nomor 3379-D/10/11/75, yang menyatakan bahwa "zionisme adalah gerakan rasisme". Insiden 31 Mei menunjukkan kegagalan solusi terhadap Gaza. Gaza menjadi titik panas dalam relasi Israel-Palestina. Gaza merupakan laboratorium proses perdamaian. Penarikan Israel dari Gaza pada 2004 berdasarkan kesepakatan Oslo merupakan langkah awal bagi pencapaian kesepakatan final dan pembentukan negara Palestina. Kenyataan di lapangan justru menunjukkan berakhirnya proses politik Israel- Palestina. Akhirnya, itu menjadi tanda kegagalan proses negosiasi yang dibangun sejak 1993.
Untuk meredakan kemelut dua negara, resolusi DK 1860 harus diimplementasikan tidak hanya gencatan senjata, tetapi juga penghilangan blokade dan penjaminan hak kemanusiaan warga Gaza. Penderitaan warga Gaza akibat blokade Israel sudah sedemikian memperihatinkan. Mereka kekurangan air, pasokan listrik, bahan bangunan, dan aneka obat- obatan.
Melihat fakta yang ada, dalam konteks ini PBB harus mengambil momentum serangan Mavi Marmara 31 Mei untuk menggelar intervensi kemanusiaan untuk mengentaskan kemelut Israel dan Palestina.

Tulisan ini dimuat di Kompas Jateng, edisi Jum’at, 11 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar