Sabtu, 02 April 2011

Labirin Kebohongan Negara



Oleh Wildani Hefni

Judul : Republik Bohong, Hikayat Bangsa yang Senang Ditipu
Penulis : AM Waskito
Penerbit : Pustaka Al-Kautsar
Tahun : Cetakan I, Februari 2011
Tebal : xiv + 330 halaman
ISBN : 978-979-592-560-6

Jatuhnya Soeharto ternyata tidak sertamerta memuluskan proses reformasi di Indonesia. Lebih setengah dekade reformasi bergerak, tapi perubahan mendasar belum terjadi. Andaikan di negeri ini terjadi 100 kali reformasi, tetap saja susah berubah.

Tanpa ada perubahan radikal dan dramatis, rasanya susah berharap. Kerusakan yang menimpa bangsa Indonesia ini sudah sangat akut. Di atas panggung politik, memang semua berubah dan bergerak. Orang-orang telah berteriak: hidup reformasi, berantas KKN, tegakkan hukum, adili pelanggar HAM. Tapi, semua perubahan dan gerakan itu semu belaka. Rakyat terpental jauh berada dalam situasi hyper-reality of politics, yaitu ruang yang disarati dengan kebohongan terencana, kepalsuan citra, pemutarbalikan fakta dan disinformasi. Mereka yang mestinya direformasi telah berteriak: hidup reformasi. Mereka yang terlibat KKN, malah teriak: berantas KKN. Mereka yang terlibat kasus kekerasan HAM, bebas ikut mengatur negeri ini.

Negeri ini telah dipenuhi para tersangka yang terbungkus dalam labirin kebohongan. Potret realitas demikian ada dan terekam dalam buku “Publik Bohong, Hikayat Bangsa yang Senang Ditipu” garapan AM Waksito ini. Sebuah republik yang dikuasai para pejabat dan elite politik yang mahir bermain kata-kata dusta, palsu, dan penuh gincu. Politik dijadikan alat untuk menyejahterakan keluarga, kerabat dan kelompoknya, bukan untuk membangun kemakmuran rakyat. Ikhtiar memotret realitas kebohongan pemerintah yang baru-baru ini juga diserukan tokoh lintas agama, digagas dalam buku ini. Menyoroti publikasi pemerintah yang dalam berbagai kesempatan menyebutkan sudah banyak kemajuan yang diperoleh masyarakat Indonesia, padahal rakyat kecil tidak pernah merasakan keadilan dan kesejahteraan.

Indonesia, negeri yang disebut gemah ripah loh jinawi, tanahnya subur dan makmur namun rakyatnya belum makmur, hanya kebohongan yang terus menjamur. Mengingatkan kita akan istilah yang dikemukan John Emeric Edward Dahlberg Firts Baron Acton (1887), power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely, manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakannya, apalagi kalau kekuasaan itu absolut, pasti akan disalahgunakan. 

Rezim Pencitraan 

Pemerintahan SBY telah menanamkan konsep harmoni kepentingan demi status quo. Indoktrinasi, memalsukan realitas dan mengeruhkan pikiran rakyat, semua itu ditempuh sebagai jalan. Terjadilah pembusukan dalam tubuh etika, hukum, birokrasi, politik, sosial dan budaya. Korupsi, kolusi dan nepotisme telah menjadi bagian dari kekuasaan. Keadilan dijualbelikan, hukum ditempatkan sebagai ajang permainan bahasa. Ironis, rakyat ditindas oleh sekelompok kecil kaum istana Cikeas. Semua pejabat diatur dengan budaya patronase. Misalnya pemilihan Kapolri. 

Hanya dalam hitungan jam, Presiden menetapkan pilihan kepada Timur Pradopo, yang sebelumnya menjadi Kapolda Jakarta. Padahal Kapolri Bambang Hendarso Danuri sebelumnya sudah mengajukan calon yang definitif tapi justru yang dipilih Presiden adalah Timur Pradopo. Tak ayal, pelbagai spekulasi muncul di kalangan masyarakat (halaman 11). Itulah yang terjadi di negeri ini. Reformasi sebagai jalan mas dalam rangka menegakkan supremasi hukum dan memberantas pelbagai tindakan penyelewengan, masih saja sebatas retorika politik jualan kecap para pejabat. Maka tak heran, Waskito mempertanyakan akan wujud eksistensi bangsa Indonesia yang seakan tidak nyata, hanya nama tanpa hakikat, sebatas identitas tanpa eksistensi. Apa yang selama ini disebut NKRI, pemerintahan RI atau bangsa Indonesia, hanyalah formalitas belaka. 

Itulah potret negeri para bedebah, seperti puisi Adhie Massardhie yang dibacakan saat memprotes kriminalisasi pejabat ketua KPK. Buku setebal 330 halaman ini dilengkapi pandangan para ahli tentang kondisi terkini bangsa kita. Termasuk pandangan Mahfud MD yang menyatakan bahwa reformasi selama 12 tahun hanya basa-basi saja, kulitnya berubah tetapi hakikat sistem korupsinya tetap tidak bergeming (hal 53). Dengan bahasa sastra yang berbeda, penyair Taufiq Ismail juga mengemukakan akan kondisi negara ini dengan sebutan GSM (Gerakan Syahwat Merdeka). Di dalam gelombang reformasi yang membawa perubahan politik sewindu yang lalu, sebuah arus besar digerakkan kelompok permisif dan adiktif menumpang masuk ke Tanah Air kita. 

Arus besar itu, sesuai karakteristiknya, tepat disebut Gerakan Syahwat Merdeka. Tulis Taufiq Ismail (hal 27). Kajian Waskito ini berhasil membuat epistemologi baru menuju arah suatu kearifan dengan pendekatan kalbu dan intuisi. Dengan sistematis, tampak sebuah elaborasi pendekatan teologis. Dengan mengutip pesan Nabi, la takdzib (jangan berbohong) karena berbohong adalah pintu kejahatan.


Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah, IAIN Walisongo Semarang


Tulisan ini dimuat di Koran Seputar Indonesia, Minggu, 3 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar