Jumat, 15 April 2011

Kajian Kritis Konsep Negara Islam


Oleh Wildani Hefni

Judul : Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam
Penerbit : Pustaka Alvabet
Penulis : Dr. Abdul Aziz, MA
Tahun : I, Maret 2011
Tebal : xix + 398 halaman

Beberapa tahun silam, marak kita dengar gaung pengusung konsep khilafah. Sebuah pertarungan ideologi antara Islam transnasional dan Islam kebangsaan. Sebagian kelompok memperjuangkan formalisasi syariat Islam dengan keinginan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.

Pada tahun 2006, tiga gerakan resmi menginginkan hal itu adalah Hisbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Komite Persiapan Pemberlakuan Syariat Islam (KPPSI). Sementara kabar santer yang tengah berhembus dewasa ini adalah munculnya dewan revolusi Islam di Indonesia. 

Secara konsepsional, banyak kalangan yang salah paham tentang negara Islam. Mereka menghendaki identitas Islam muncul dalam perundangan yang mewajibkan kaum muslim menjalankan syariat Islam, setidaknya seperti yang tertuang dalam Piagam Jakarta. Tak ayal, perdebatan tarik-menarik antara negara agama dan negara sekuler kian meruncing.

Buku berjudul Chiefdom Madinah; Salah Paham Negara Islam ini tampil dengan pendekatan dan metode interpretasi historis-sosiologis untuk mendedah persoalan agama (Islam) dalam sistem negara. Menyuguhkan pandangan baru dengan memaparkan secara proporsional kontribusi Islam bagi pembentukan negara pada masa-masa awal. Secara konseptual, buku ini berseberangan dengan pemahaman normatif-ideologis atas sejarah Islam awal yang menempatkan negara Islam sebagai tipe ideal bentuk negara yang wajib dibangun kembali oleh umat Islam dewasa ini. 

Kajian khazanah politik Islam ini, menampilkan diskursus negara dan agama dalam tiga pandangan. Pertama, pandangan yang mewajibkan pendirian negara Islam yang tidak boleh tidak negara secara resmi harus berwujud negara Islam yang tunduk pada syariat Islam. Kedua, pandangan sekuler dengan memisahkan negara dan agama. Ketiga, pandangan akan internalisasi nilai-nilai Islam dalam bernegara dengan konsep kombinasi nilai-nilai Islam dalam praktek bernegara tanpa menyematkan negara Islam atau negara sekuler. 

Secara detail, buku ini mengulas tuntas akan ciri dan alasan dari tiga pandangan tersebut. Abdul Aziz dengan jeli meneliti akar pewacanaan dan ideologisasi negara Islam. Ideologisasi negara Islam berawal dari krisis legitimasi menyangkut kekuasaan imamah (pemimpin) dan kesatuan ummah (rakyat). Sebagai respons terhadap situasi ini, Ibnu Taimiyah tampil sebagai pemikir muslim yang pertamakali menjadikan penegakan syariat Islam sebagai fokus pembahasan fikih politik. Ibnu Taymiyah memandang perlu untuk merumuskan syariat Islam yang murni. (hal 148)

Realita sekarang menunjukkan, bahwa krisis legitimasi kesatuan imamah dan kesatuan ummah masih terus berlanjut hingga kini. Tak ayal, klaim kontestasi pemurniaan negara Islam kian menggema. Abdul Aziz mengelaborasi tiga pandangan tersebut dalam benang merah yang terdapat pada bab lima. Ia menegaskan,  kehadiran Islam telah menjadi pendorong sentripetal bagi masyarakat Arab di Semenanjung Arabia dalam proses menuju suatu negara (pre-state). Tapi bukan menjadi pemeran dan penyumbang satu-satunya karena tradisi jahiliyah juga turut andil. (hal 214-217)

Islam dan tradisi kultur serta konteks kebangsaan sama-sama berperan. Kesemuanya bisa mengentaskan masyarakat yang semula tak bernegara (stateless) menuju masyarakat dengan sebentuk pranata kekuasaan terpusat, disebut dengan “chiefdom”. Dengan itu, bisa dipahami bahwa dalam proses bernegara sangatlah penting untuk mengembangkan demokrasi politik dengan landasan nilai-nilai Islam tanpa harus menggaung dengan konsep negara Islam. Lebih-lebih Indonesia dengan konsep Pancasila, sebuah ideologi bangsa yang bukan produk agama namun nilai-nilai agama harus terpatri sebagai cerminan moral.

Buku ini tepat dibaca untuk memberikan ruang dialektis-kritis. Juga untuk menyadarkan golongan yang mengusung konsep negara Islam, bahwa persepsi mereka mengabaikan realitas sosiologis masyarakat arab waktu dulu. Berdasar data sejarah dan realiatas sosial, buku ini merekonstruksi secara halus dengan format teoritik tentang pertautan antara Islam dan pembentukan negara. Maka tawaran yang diusulkan buku ini bahwa tugas kita adalah merealisasikan secara akomodatif identitas keislaman. Sepanjang para aspirasinya dapat mengengolkannya secara konstitusional, gagasan itu patut untuk diperjuangkan.

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di Majalah GATRA, No. 23 Tahun XVII, 14 - 20 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar