Sabtu, 02 April 2011

Indonesia, Bung Karno, dan Malaysia



Oleh Wildani Hefni

Judul Buku : Ganyang Malaysia: Politik Konfrontasi Bung Karno
Penulis : John B. Sriyanto
Penerbit : Interpre Book, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 110 halaman

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat. Namun dibalik kekuatan itu, Indonesia masih saja dipermainkan oleh bangsa lain yang jelas-jelas lebih kecil dari bangsa Indonesia. Misalnya, Malaysia yang kerap kali menumbuhkan gesekan dan konflik. Ada beberapa perkara yang timbul di Malaysia yang dilakukan terhadap orang Indonesia. Sebut saja penganiyaan TKI, pencaplokan Sempadan dan Ligitan, pembajakan lagu-lagu seperti Terang Bulan dan Rasa Sayange, pengambilan tari Pendet (Bali), Kuda Kepang dan Reog Ponorogo, untuk dimanfaatkan demi kepentingan pariwisata Malaysia. Kemudian penangkapan pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan serta peristiwa lainnya. Ini semua membuktikan Malaysia sebagai negara tetangga tak mampu mengkampanyekan hidup rukun dengan Indonesia.
Sementara publik Indonesia tentu tidak menerima akan pelecehan yang terus digempurkan Malaysia. Semua orang Indonesia, massa tua-muda, pria-wanita, seniman-seniwati, karyawan dan termasuk para politisi memprotes keras yang dituangkan dalam demonstrasi di berbagai tempat dan kota.
Malaysia yang oleh orang Indonesia disebut negeri “jiran”, memang dari dulu kala menjadi momok tersendiri bagi bangsa Indonesia. Dalam perjalanan sejarah, selain harus memerdekakan diri dari penjajahan Belanda yang amat diskriminatif, Indonesia juga harus keluar dari cengkraman Malaysia. Cengkraman itu berupa ancaman yaitu pembentukan negara federasi Malaysia yang diprakarsai imperealis Inggris dengan slogan nekolim (neokolonisme dan imperealisme) untuk membentuk sebuah negara boneka.
Indonesia dibawah pimpinan Bung Karno menentang pembentukan negara federasi Malaysia yang terdiri dari Semananjung Tanah Melayu, Singapura, Sabah dan Serawak, hingga kemudian Bung Karno menggemakan politik konfrontansi dengan semboyan “Ganyang Malaysia”. Presiden pertama RI itu sangat gusar ketika dalam demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur pada 17 Desember 1963 para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek- robek foto Soekarno, dan membawa lambang Garuda Pancasila ke hadapan PM Malaysia waktu itu, Tengku Abdul Rahman, dan memaksanya menginjak lambang Garuda tersebut.
Istilah “konfrontasi” dipopulerkan Menteri Luar Negeri Soebandrio pada 20 Januari 1963. Sikap bermusuhan terhadap Malaysia kemudian dipertegas oleh Presiden Soekarno lewat diumumkannya perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1963. Maka dengan semangat militansi, Bung Karno meneriakkan ganyang Malaysia.
Buku karya John B. Srijanto dengan detail mengurai akan tindakan yang diambil Bung Karno tersebut. Menurut John, langkah konfrontasi Bung Karno didasarkan pada rasa bertanggung jawab oleh kewajiban moral untuk membebaskan dan memerdekakan rakyat di kawasan Semenanjung Tanah Melayu, termasuk Singapura, Sabah, dan Serawak di Kalimantan Utara dari penjajah Inggris. Inggris dengan memanfaatkan Malaysia sengaja ingin menciptakan kekuatan yang dapat mengancam Indonesia.
Bung Karno dengan jeli memahami pesan tersirat yang diamanatkan oleh filsafah Pancasila yang tertuang dalam pembukaan Undang-undang dasar Republik Indonesia alenia pertama. Alenia itu tak lain adalah “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”. Ini tampak diformulasikan oleh Bung Karno dengan semangat perjuangan gigih dan tangguh. Berbanding arah dengan pemimpin masa kini, jika ada konflik antar negara hanya diam tak berkutik. Yang ada hanyalah tampilan semu belaka yang berjiwa paternalistik. Sungguh sikap pemimpin yang tidak memiliki keberanian laiknya pemimpin Indonesia kali pertamanya.
Bung Karno meneriakkan slogan ganyang Malaysia tak lain untuk mempertahankan harga diri bangsa, baik dimata Malaysia yang merupakan boneka Inggris maupun dimata dunia internasional. Maka tak heran, dalam pidatonya Bung Karno selalu mengatakan, kalau Malaysia mau konfrontasi ekonomi, kita hadapi dengan konfrontasi ekonomi, jika Malaysia konfrontasi politik hadapi dengan politik. Jika Malaysia dengan konfrontasi militer, kita hadapi dengan militer.
Model mengganyang Malaysia ala Bung Karno patut untuk kita contoh dewasa ini. Buku ini cukup jeli meneliti langkah-langkah Bung Karno untuk mencegal pembentukan federasi Malaysia dari produk nekolim. Bung Karno menyingsingkan tangan baju lalu menggoncang seantero bumi, khususnya kawasan Asia Tenggara untuk menggagalkan rencana Malaysia tersebut. Bung Karno tak langsung berdemonstrasi namun mula-mula berdialog langsung dengan pendiri federasi Malaysia, Tengku Abdul Rahman Putra al-Hajj. Kemudian perlahan Bung Karno menormalkan kembali dengan menghentikan konfrontasi dan hubungan bilateralpun menjadi baik.
Buku ini menarik dibaca karena selain membantu kita merekam jejak Bung Karno, juga disertai dengan strategi konfrontasi kepada Malaysia tanpa merasa perlu untuk berperang. Selain itu, kehadiran buku ini tepat disaat bangsa Indonesia diinjak dan dipermalukan oleh pelbagai bangsa lain. Kini, seyogyanya presiden kita dan seluruh jajaran Tentara nasional Indonesia (TNI) untuk tampil tegas. 


Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Tulisan ini dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 3 April 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar