Sabtu, 25 Juni 2011

Ratna Sari Dewi dalam Pelukan Sukarno



Oleh Wildani Hefni

Judul : Ratna Sari Dewi Sukarno, Sakura di Tengah Prahara
Penulis : M Yuanda Zara
Penerbit : Ombak Yogyakarta
Tahun : I, 2011
Tebal : xvi + 260 halaman


Kerapkali orang berasumsi bahwa love is blind alias cinta itu buta. Cinta buta ini cenderung membuat orang mabuk kepayang, tindak-tanduknya tanpa logika dan pertimbangan sama sekali. Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi. Tak jarang, orang yang sedang jatuh cinta kebanyakan melakukan kegiatan aktif berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang kepada yang dicintai.

Nostalgia demikian ternyata pernah dialami oleh presiden pertama Indonesia, Sukarno. Tak banyak orang tahu, Sukarno sempat terpesona pada sosok perempuan cantik saat melakukan kunjungan kenegaraan ke Tokyo pada tahun 1959. Perempuan itu adalah Ratna Sari Dewi, bernama asli Naoko Nemoto. 

Buku ini menjadi bukti bahwa Sukarno tak hanya tertarik pada dunia politik, namun ia juga menempatkan perempuan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan buku ini juga memberikan informasi penting terkait kisah cinta Sukarno dengan perempuan-perempuan cantik asal Jepang. Dalam penulusuran sejarah yang dilakukan Yuanda Zara, sebelum menjalani hubungan dengan Dewi, ternyata Sukarno pernah memiliki hubungan spesial dengan perempuan bernama Sakiko Kanase. Namun hubungan keduanya tak berlanjut karena munculnya seorang Naoko Nemoto.

Peristiwa besar terkait pampasan perang yang dialami Indonesia dari Jepang pada tahun 1950-an, menyebabkan Indonesia menderita dan mengajukan tuntutan kepada Jepang untuk membayar kerugian. Selama beberapa tahun, Indonesia dan Jepang seringkali melakukan lobi-lobi penting.

Pada tahun 1959, Sukarno dan rombongannya berkunjung ke Jepang yang juga masih dalam urusan harta pampasan perang. Untuk menunjukkan ikraman li al-dhuyuf (menghormati tamu), tuan rumah menjamu rombongan Sukarno dengan pelayanan yang terbaik. Karena itu, Akasaka’s Copacabana menjadi tempat refreshing rombongan Indonesia setelah letih melakukan perundingan. Ditempat inilah Sukarno kali pertama bertemu dengan Dewi pada Jum’at malam, 16 Juni 1959.

Pertemuan itu meninggalkan kesan dibenak masing-masing. Tampaknya, Sukarno mulai jatuh hati kepada Dewi. Long distance relationship alias hubungan jarak jauh antara Jepang dan Jakarta, tak menjadi halangan bagi sang pemimpin besar revolusi. Sukarno mengirimkan surat-surat mesra kepada Dewi melalui kedutaan besar RI yang ada di Tokyo.

Kepiawaian seorang Yuanda Zara dalam meracik isi buku ini membuat para pembaca seakan terenyah dan meresapi setiap usaha Sukarno untuk membawa Dewi dalam pelukannya. Didasari perasaan cinta yang kuat dalam diri Sukarno, tak tanggung-tanggung ia mengundang Dewi untuk hadir ke Indonesia. Awalnya Dewi tak meladeni tawaran itu. Namun, bujukan dari sosok Kubo Masao, seorang pengusaha yang mempunyai niatan menguras uang Sukarno dan memperlancar bisnisnya di Indonesia, perlahan ia membujuk Dewi untuk datang ke Indonesia. Kahirnya, Dewi menyetujuinya.

Ketika Dewi berada di Jakarta, ia mulai sadar bahwa keberadaannya dimanfaatkan oleh Kubo Masao untuk memperlancar usaha bisnisnya di Indonesia. Maka pada tahun 1962, akhirnya hubungan Dewi dan Kubo Masao memburuk karena Dewi merasa tidak nyaman dikendalikan dan disetir oleh Kubo Masao.

Membaca buku ini terasa seperti mengendarai mobil sport yang melesat di jalan mulus: seru, tegang, girang, adrenalin melejit hingga ke titik orgasmik. Kisah percintaan Sukarno dan Dewi seakan terekam dalam adegan fiktif yang dikendalikan seorang produser, tapi itulah kenyataannya.

Setelah menjalani percintaan backstreet sedemikian lama dan penuh suka duka, akhirnya Sukarno dan Dewi memutuskan untuk menikah. Sepanjang penelusuran dari buku ini, tidak ditemukan kejelasan tanggal menikahnya Sukarno dan Dewi. Namun ada yang berpendapat, keduanya menikah pada tanggal 3 Maret 1962 yang pada saat itu pula, Dewi bersyahadat menganut agama Islam. Juga pada tanggal inilah, sosok Dewi yang aslinya bernama Naoko Nemoto diganti oleh Sukarno menjadi Ratna Sari Dewi Sukarno. 

Meski beda usia yang terpaut jauh, Sukarno berusia 66 tahun dan Dewi masih 22 tahun, keduanya tampak mesra dalam rasa cinta yang menggelora laiknya kisah kasih anak remaja. Kecintaan Sukarno terlihat dalam sebuah surat semi puisi yang ditulisnya pada tanggal 6 Juni 1962, surat itu bertuliskan : Kalau aku mati, kuburkanlah aku di bawah pohon yang rindang. Aku mempunyai istri yang aku cintai dengan segenap jiwaku. Namanya Ranta Sari Dewi. Kalau ia meninggal, kuburkanlah ia dalam kuburku. Aku menghendaki ia selalu bersama aku.

Setidaknya, buku ini mampu mengumbar akan sejarah percintaan Sukarno dengan para isteri-isterinya. Buku ini patut dibaca oleh mereka yang sedang memangku jabatan strategis untuk tak gampang jatuh hati kepada seorang perempuan yang justru akan menenggelamkan karir, loyalitas, kredibilitas, dan integritas kepribadiannya. Jika tidak mampu hidup seperti Sukarno, maka jangan pernah mencoba untuk bermain api dengan perempuan.

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di Radar Surabaya, 26 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar