Sabtu, 18 Juni 2011

Gigantisme Partai Demokrat



oleh Wildani Hefni

Skandal Muhammad Nazaruddin benar-benar menimbulkan hiruk pikuk politik dalam Partai Demokrat (PD). Tak ayal, partai besutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini mengalami ancaman krisis yang sangat krusial.

Setelah skandal Nazaruddin, kini dikabarkan pucuk pimpinan PD tengah perang dingin. Hubungan Ketua Umum PD, Anas Ubaningrum dengan Ketua Dewan Pembina dan pendiri PD, SBY diisukan kian memburuk. Isu ini mengemuka ketika Anas tidak terlihat saat Dewan Kehormatan (DK) PD mengumumkan pemberhentian Nazar sebagai bendahara umum PD. Terlebih lagi setelah itu, Anas juga berkali-kali tidak menghadiri rapat PD di kediamaan SBY. 

Kasus lainnya juga telah menghangat yaitu kasus Andi Nurpati, kader PD yang dilaporkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ini semua merupakan ancaman bagi masa depan PD yang telah terlanjur menjadi partai “luar biasa”. Dalam usianya yang cukup muda, partai ini telah berhasil menjadi penguasa. 

Fenomena Demokrat

Partai demokrat memang telah menjadi fenomena. Terbentuk pada 9 September 2001 dan telah meraih beberapa kemenangan. Pertama, meraih sekitar 8 juta (7,8 persen) pemilih atau 56 (10, 18 persen) kursi Dewan Perwakilan Rakyat dalam pemilu legislatif 5 April 2004. Kedua, mengantar SBY bersama Yusuf Kalla keposisi nomor satu dalam pemilu presiden 2004. Ketiga, kemenangan PD sekaligus bertenggernya kembali SBY sebagai presiden pada pemilu 2009. Ini menjadi catatan sendiri dalam sejarah perpolitikan bangsa. Maka wajar jika para analis politik menempatkan PD pada era 2004-2009 sebagai partai paling besar dan prospektif.

Pertanyaan yang muncul, apakah PD pada era 2014 ini akan tetap mencapai postur politik diatas permukaan? Jawabannya tidak mesti. Melihat kondisi saat ini, PD kemungkinan besar bisa terjerambab dalam gejala gigantisme, sebuah partai yang besar secara cepat tapi juga cepat tersungkur.

Setidaknya ada tiga krisis multidimensi yang tengah menyelimuti PD saat ini. Pertama, krisis kepemimpinan karena sejak lahir PD sangat bergantung pada figur SBY. Sudah menjadi bahan analisis banyak pengamat bahwa faktor SBY sebagai magnet politik PD tergolong luar biasa. Untuk tahun 2014, SBY tak mungkin mencalonkan diri sebagai presiden kembali. Ketidakberadaan SBY dalam kursi pencalonan presiden, sedikit banyak akan berpengaruh pada perolehan suara PD. Keberadaan Anas sebagai ketua umum PD juga tak akan banyak memberi sumbangsih. Terbukti, kini ketergantungan pada figur SBY menjadikan potensi PD tersendat-sendat untuk menjadi partai modern.

Kedua, banyaknya kubu-kubu terpendam antar elite PD yang semakin runyam, menyebabkan kesulitan membangun kompromi dalam kekuatan internal. Para elite PD berlomba-lomba mengedepankan kepentingannya sendiri. Konflik dan ketegangan yang tidak teresolusikan ini mesti memberi dampak negatif yang akan berpengaruh telak pada nasib PD kedepan.

Ketiga, krisis dukungan yang menjadi tali-temali terhadap posisi central sosok SBY. Dulu, keadaan Indonesia yang semrawut menjadikan masyarakat berlomba-lomba mencari tatanan baru untuk mencari pemimpin yang ideal bagi Indonesia. Kala itu, sosok SBY telah ditangkap oleh elemen masyarakat sebagai tokoh ideal memimpin Indonesia. Namun, keadaan itu cukup berbanding arah dengan realita sekarang. Survei-survei yang dilakukan beberapa lembaga, cenderung mencatat kemerosotan popularitas SBY. Belakangan, sosok SBY semakin menanggung banyak beban politik. Beban itu bertambah berat manakala soliditas internal PD bermasalah.

Tidak mengherankan jika mencuatnya kasus bendahara PD Muhammad Nazaruddin benar-benar menjadi ujian serius bagi SBY dan semua elite politik partai itu. Drama-drama politik belum hendak usai tetapi diperkirakan akan terus menghangat. Ini yang akan membawa PD dalam poros gigantisme, khususnya mendekati tahun kompetisi politik 2014.

Ditambah lagi dengan kecendrungan PD beserta para kroni-kroninya yang mengedepankan status quo mereka. Dua periode PD menjadi partai terbesar yang menguasai kursi DPR dan menampilkan sosok SBY sebagai orang nomor satu. Namun kenyataannya, PD tidak mampu bermain dalam tingkat masyarakat kelas bawah dan bahkan abai dalam usaha balas budi terhadap para pemilih dengan tidak adanya hubungan dengan masyarakat. Yang ada hanyalah kesibukan dalam menjalankan fungsi pada tingkat formal, bermain ditingkat elite dan bergusar pada pusat-pusat kekuasaan.

Kasus Nazaruddin dan Andi Nurpati merupakan secuil dari kejelekan prilaku para kader PD. Kemungkinan dibalik kebesaran PD, terdapat ratusan kader PD yang memanfaatkan kekuasaan. Mengingat kekuasaan adalah tumpukan keindahan yang dengan mudah orang tergoyah. Sebagaimana dikemukan John Emeric Edward Dahlberg Firts Baron Acton (1887), manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakannya, apalagi kalau kekuasaan itu absolut, pasti akan disalahgunakan. 

Karena itu, membaca fenomena partai yang dengan cepat menjadi besar merupakan sesuatu yang urgen dikala partai itu mengalami pelbagai gesekan problem yang mengancam masa depan. PD bisa saja akan turun menjadi partai yang mengambang (floating parties) yang tak menemukan arah karena hilangnya popularitas pemimpin dan minimnya hubungan dengan masyarakat bawah. Tak ada yang bisa menebak, satu saat PD akan menjadi partai yang terjebak pada tataran gigantisme, bongsor alias cepat besar namun juga cepat buram.

Wildani Hefni, pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di Koran Wawasan, Kamis 16 Juni 2011





Tidak ada komentar:

Posting Komentar