Sabtu, 18 Juni 2011

Jejak Buram Polisi Indonesia



Oleh Wildani Hefni

Judul : Polisi Zaman Hindia Belanda, dari Kepedulian dan Ketakutan
Penulis : Marieke Blombergen
Penerbit : Buku Kompas
Cetakan : I, 2011
Tebal : xliv + 539 halaman

Tepat yang ditulis Mardjono Reksodiputro dalam kata pengantar buku ini bahwa keadaan hari ini adalah akibat perkembangan masa lalu dan apa yang kita lakukan sekarang akan menentukan masa depan. Itulah kalimat yang sesuai untuk menggambarkan keadaan kepolisian Indonesia saat ini.

Polisi yang diharapkan menjadi tonggak moral bangsa justru tidak pernah lepas dari skandal dan kontroversi. Misalnya, hari-hari ini Kepolisian Republik Indonesia (polri) terlihat lamban menangani laporan Mahkamah Kontitusi tentang temuan belasan surat palsu yang dikeluarkan KPU. Belum lagi menghadapi kasus kekerasan massal, seperti yang belakangan terjadi di Cikeusik, Banten, dan Temanggung. Polisi tampil ambigu dan terdapat krisis reputasi. Mengapa demikian?

Jawabannya barangkali bisa disimak lewat buku karya Marieke Blombergen ini. Dosen Sejarah Universitas Amsterdam yang bertugas melakukan penelitian Arkeologi Indonesia itu mengupas tuntas akan sejarah kepolisian zaman Hindia Belanda. Mulai awal pembentukannya pada 1897 sampai keruntuhan negara kolonial pada 1942, yang merupakan cikal bakal Polri. Blombergen menengerai bahwa kinerja buram Polisi bermula sejak awal pembentukan pertama.

Polisi di Hindia Belanda merupakan produk langsung dari ketakutan dan kepedulian. Ikhtiar Pemerintah kolonial untuk mengembangkan kepolisian modern dimulai sejak paro terakhir abad ke-19. Mayoritas pengisi korps kopolisian modern itu adalah kaum pribumi. Suatu tujuan yang kurang terhormat karena korps tersebut bukan hanya mengawasi urusan keamanan negara, tapi juga untuk mempertahankan kekuasaan.

Peneliti di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) di Leiden, Belanda, itu menampilkan aib rekam jejak polisi kolonial. Secara konsep, kepolisian di Hindia Belanda dibentuk sebagai tanggapan dari negeri induk terhadap persoalan memelihara dan menjaga keamanan di negara koloni. Polisi hanya dibentuk untuk mendedah masalah pemerintahan kolonial yang ingin dianggap beradab dengan kekuasaan penuh.

Blombergen juga mendapati bahwa polisi modern kolonial ternyata lahir dari kepedulian dan ketakutan. Kepedulian dalam arti mereka berkehendak mendirikan negara polisi di negeri jajahan, menciptakan masyarakat yang aman dan tertib.

Tapi, kenyataannya, kepolisian pada waktu itu juga mendapat beban menjalankan tugas-tugas kotor negara kolonial dengan tindakan represif. Dengan demikian, upaya membangun negara polisi boleh dibilang “gagal total”.

Bukti konkretnya, pada tahun 1912-1914 kepolisian Hindia Belanda tumbuh dengan kokoh dalam labirin imperialisme etis sebagai wujud pengejewantahan dari keharusan negara dalam menjaga keamanan dan ketertiban ekonomi masyarakat pribumi. Pada zaman kolonial itu pula, sebagaimana temua Blombergen, ternyata polisi pun ambil urusan menangani soal-soal akhlak.

Pada tahun 1918 di Jawa, kepolisian dihadapkan pada keresahan sosial dan etnis yang begitu krusial. Sebuah keresahan berdimensi ekonomi sebagai dampak negatif perang dunia di Eropa. Kericuhan dan perampokan tak hanya terjadi di Batavia tapi juga di pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Demak dan Kudus, pecah kerusuhan anti-China. Di Semarang, sekitar 1.500 orang Jawa menyerbu dan merampok rumah-rumah di pecinaan. Melihat kondisi demikian, ternyata Polisi hanya diam, datar dan tak bereaksi. (hal 208).

Itulah potret kepolisian sejak zaman Hindia Belanda. Tatkala dihadapkan pada pelbagai persoalan krusial, mereka tak mampu untuk berbuat banyak. Itulah yang menjadikan para polisi kehilangan reputasi.

Blombergen pun tak kunjung menemukan tekad bulat negara yang sejatinya praktis membutuhkan polisi sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk menjadikan mereka penjaga moral bangsa. Bukan menjalankan kebijakan dan menegakkan rust en orde, polisi justru sebagai gudang kekuasaan pragmatis.

Membaca buku ini terasa seperti mengendarai mobil sport yang melesat di jalan mulus: seru, tegang, girang, adrenalin melejit memuncak seakan tak percaya. Tapi, itulah kenyataannya. Naifnya lagi, polisi justru tunduk atas intervensi hierarki seorang penguasa negara.

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di Jawapos, Minggu, 19 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar