Selasa, 05 Juli 2011

Memoar Nilai Subtansial Pancasila



Oleh Wildani Hefni

Judul : Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
Penulis: Yudi Latif
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, April 2011
Tebal : xxviii + 667 halaman

Indonesia bisa dibilang tengah dan sedang gundah dan galau. Pelbagai permasalahan kronis bertubi mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Neo liberal yang ekstrem dan gerakan radikal bernuansa agama yang ingin mengubah negara Indonesia menjadi negara Islam, perlahan menjelma menusuk dan membajak pilar-pilar bangsa, termasuk pancasila.

Pancasila kembali menjadi persolan akut setelah negeri ini diterpa pelbagai permasalahan. Ini menunjukkan bahwa ada gerakan manifesto yang berusaha menghapus kesaktian pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Buku ini hadir menasbihkan diri sebagai gerakan melawan pelupaan terhadap kesaktian pancasila.

Yudi Latif melakukan penggalian dan penjelmaan semangat dasar Pancasila. Basis moralitas dan haluan kebangsaan kenegaraan pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat. Dengan menelisik kembali risalah-risalah persidangan BPUPK dan PPKI sejak 29 Mei hingga 18 Agustus 1945, Yudi menemukan dua perspektif baru. Pertama, mutiara-mutiara pemikiran cemerlang para founding fathers bangsa mengenai Pancasila. Kedua, tindakan epistimologis yang berbasis aksiologis dari setiap statemen, perkataan, pemikiran, ataupun perdebatan yang muncul selama masa persidangan. Ternayata, founding fathers tidak serta merta menelurkan pancasila, namun melalui formasi diskursif untuk dinobatkan sebagai dasar ideologis negara Republik Indonesia.

Romantisme, imajinasi, kelakar, dan ueforia mengenai sebuah tatanan politik, yakni mengenai sebuah negara-bangsa (nation-state), dihadirkan kembali dalam konteks ketika mentalitas-kolektif zaman kolonial masih bercokol kuat. Historisitas pancasila direkonstitusi bahkan didekonstruksi secara mendalam untuk mendedah nilai-nilai substantif yang terkandung didalamnya. Pancasila berhasil dipandang sebagai ideologi kebangsaan, dasar negara dan konsesus yang tentunya dapat menjadi pegangan bagi semua. Pancasila dinilai layak untuk ditempatkan secara luhung sebagai moral value. 

Dalam konsep ketuhanan, misalnya, Yudi mengungkap bahwa ketuhanan dalam kerangka pancasila menyerupai konsep agama sipil (civic religion) yang bisa melibatkan nilai-nilai moral universal agama-agama. Bagaimana menjadikan nilai-nilai moral ketuhanan sebagai landasan realitas kehidupan, dicerna dan diolah dengan baik. Dengan akumulasi rasio, perpaduan nilai-nilai kebangsaan dan religiusitas mesti memunculkan peradaban bangsa yang agung. (halaman 110). 

Proses monumentasi ini mampu dengan lantang menunjukkan kekuatan monumental pancasila. Pancasila bukanlah hasil penggalian atas elemen-elemen filosofi bangsa an-sich, melainkan terdapat sintesa kreatif antara declaration of American Independence dan Manifesto Komunis (halaman 47). Terbentuknya ideologi pancasila hanya dapat dipahami dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk dan multi-agama. Apa yang sampai hari ini mempersatukan kemajemukan komunitas di seantero wilayah Indonesia adalah kesaktian nilai substantif pancasila.

Pancasila perlahan mengantarkan pengakuan politik (political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin kehidupan damai dan produktif. Pancasila juga tidak memisahkan antara kekuasaan yang bersifat sakral dan profan, yang transenden dan imanen. 

Refleksi atas setiap sila pancasila sebagai monumen-monumen yang masing-masing maupun keseluruhannya, mampu meracik totalisasi atas masa lalu, masa kini, dan masa depan. Substansi pancasila merupakan ketentuan yang berlaku umum yang berkedudukan sebagai staatsfundamentalnorm. Dengan asumsi pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dan melekat dalam bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut telah diakui kebenarannya serta menjadi pedoman hidup (way of life). Maka pancasila adalah manifestasi isi dari berbagai ketentuan yang berlaku umum sehingga nilai nilai tersebut merupakan isi dari hukum.

Kaitannya dengan radikalisme agama, Yudi menganggap bahwa secara konsepsional, pancasila telah menjadi bahan kompromi antara aspirasi kalangan Islam yang menghendaki identitas Islam dimunculkan dalam perundangan dengan aspirasi kelompok nasionalis yang menginginkan akan ruang pemisahan antara Islam dan negara. Maka bangsa harus mampu merealisasikan nilai dan aturan konstitusi Indonesia untuk menghadirkan playing field yang fair dalam kemajemukan. 

Kekuatan pancasila sebagai imajinasi negara jika dapat dipahami, dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara konsisten, niscaya dapat mewujudkan akan imaji kolektif pencapaian agung peradaban bangsa menuju terwujudnya negara paripurna. 

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dilansir dari GP Ansor, Selasa, 5 juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar