Sabtu, 09 Juli 2011

Menyingkap Tabir Tuhan


Oleh Wildani Hefni

Judul : Masa Depan Tuhan, Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme
Penulis : Karen Armstrong 
Penerbit : Mizan 
Tahun : I, Juni 2011
Tebal : 608 halaman


Ditengah pelbagai problematika kronis yang sedang menimpa bangsa ini, manusia tak henti-hentinya menuntut dan berdemonstrasi pada Tuhan dengan omelan-omelan yang kasar. Memang tidak bisa dimungkiri, manusia akan selalu berpikir tentang eksistensi Tuhan. Menalar Tuhan merupakan kegiatan kuriositas manusia. Puncaknya, manusia cendrung menjinakkan dan memiara keberbedaan Tuhan. 

Manusia meminta Tuhan memberkati bangsa, menyelamatkan pemimpin, menyembuhkan penyakit. Namun, di sisi lain, justru Tuhan dipelintir menjadi alat “sokongan”. Politikus mengutip nama Tuhan untuk membenarkan kebijakan mereka, para teroris membajak nama Tuhan untuk melegitimasi perbuatan kejam mereka, dan para koruptor membawa nama Tuhan untuk melegalkan tindakan mereka. Tuhan ditafsirkan dalam wujud non-transenden yang bisa dijangkau.

Tafsiran yang dirasioanalkan atas nama agama ini menghasilkan dua fenomena modern yang sangat khas, yaitu fundamentalisme dan ateisme. Fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham, atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai fondasi. Sementara ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi. Keduanya saling berkaitan. Kesalehan defensif yang populer dengan gejala fundementalisme ini telah menyebar dalam semua agama besar dan mengemuka selama abad ke-20.

Buku karya Karen Armstrong ini menunjukkan pembelaan terhadap Tuhan dan agama. Menentang fundamentalisme dan ateisme. Argumentasi yang dikemukakan Armstrong mampu meruntuhkan sejumlah pendapat kaum ateis yang dengan gagah menyatakan bahwa Tuhan telah mati.

Di berbagai penjuru dunia, kenyataan menunjukkan bahwa agama-agama sedang mengalami kebangkitan. Dampaknya terasa di pelbagai bidang: politik, sosial, dan ekonomi. Namun, pada saat yang sama, skeptisisme dan nihilisme terhadap Tuhan dan agama pun terasa meningkat sebagai respons terhadap perkembangan itu. 

Armstrong, yang pernah dianugerahi Franklin J. Roosevelt Four Freedom Medal untuk karyanya tentang kebebasan beragama, dalam buku ini tampil lebih tegas mendukung agama dari serangan bertubi-tubi fundamentalisme maupun pemikir ateisme semacam Richard Dawkins, Christopher Hitchens, dan Sam Harris. Armstrong memperlihatkan kesejajaran antara ateisme gaya Dawkins dan fundamentalisme kontemporer.

Pada bagian pertama, Armstrong menjelaskan nilai substantif ajaran agama yang seringkali dipahami oleh sekelompok orang yang mencoba memahami Tuhan dari pelbagai persepktif. Dalam bagian kedua, Armstrong tampak menelusuri kebangkitan Tuhan modern yang menggulingkan banyak persangkaan pada agama tradisional. 

Dalam aturan beragama, tidak ada gunanya menimbang ajaran-ajaran agama secara otoritatif untuk menilai kebenaran atau kepalsuan sebelum menjalani cara hidup religius. Ketika berenang dalam lautan agama, secara perlahan akan menyilami dan mulai mengenal Tuhan. Tuhan adalah wujud tertinggi, kepribadian ilahi yang menciptakan segalanya.

Orang tentu akan berpikir bahwa secara teoritis menjangkau Tuhan adalah hal yang transenden. Namun Armstrong berusaha menyingkap tabir Tuhan dengan mendedah pelbagai argumentasi untuk melawan dan menyanggah kaum fundamentalisme dan ateisme yang kerapkali mengobok Tuhan. 

Buku kesekian kali dari seorang penulis yang sukses sebagai penyebar semangat keberagamaan yang penuh cinta kasih ini, memberikan perspektif baru agar kita melihat masalah-masalah tentang Tuhan dan agama secara lebih bijak agar kita tak terjerumus dalam sikap kekerasan yang tidak toleran, khususunya dalam dunia religiositas yang sedang marak saat ini.

Armstrong sebagai mantan biarawati dengan gigih lewat bahasa khas, yang kental dengan filosofi, mampu menjawab perihal masa depan Tuhan. Tuhan tak akan bisa dijugkirbalikkan dengan sokongan-sokongan yang hanya ingin melejitkan legitimasi kelompok atau perorangan.

Karena itu, bagi Armstrong, Tuhan akan datang bukan karena permohonan kita, tapi Tuhan akan datang karena kebutuhan kita. Akhirnya, Tuhan memberikan sesuatu bukan karena permintaan kita, tapi Tuhan memberikan sesuatu karena kebutuhan kita. Selamat membaca!

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di KORAN TEMPO, Minggu, 10 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar