Rabu, 04 Mei 2011

Mengenang Presiden Kedua RI

Oleh Wildani Hefni


Judul : Presiden Prawiranegara: Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia
Penulis : Akmal Nasery Basral
Penerbit : Mizan
Tahun : I, Maret 2011
Tebal : 370 halaman
Harga : Rp54. 000

Melihat novel sederhana ini, kita dibawa pada satu pertanyaan, benarkah Syafruddin Prawiranegara pernah menjadi Presiden Indonesia? Tak banyak orang tahu melodrama kisah perjuangan para pendiri bangsa Indonesia, termasuk perjuangan Pak Syafruddin, yang oleh sejarawan Asvi Marmar Adam ditempatkan sebagai Presiden kedua Indonesia. Keadaan Indonesia pada 1948 masih dalam guncangan Belanda. Walaupun Indonesia telah merdeka, namun serangan militer Belanda mampu menguasai ibu kota Indonesia, yaitu Yogyakarta.

Sejumlah pemimpin besar Indonesia seperti Sukarno, Hatta, Sultan Syahrir, dan Agus Salim berhasil ditangkap. Indonesia yang ditelah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, nyaris jatuh dalam genggaman Belanda. Sebelum Sukarno-Hatta ditangkap tentara Belanda, ia sempat mengirim telegram kepada Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI. Dalam telegram itu, para pemimpin Indonesia menginstruksikan kepada Syafruddin untuk membentuk Pemerintah Republik darurat karena Belanda telah melakukan serangan besar pada ibu kota: Yogyakarta.

Akhirnya, dengan semangat juang dan bukan semata-mata memperebutkan jabatan kekuasaan, pada tanggal 22 Desember 1948, Syafruddin membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Kondisi bangsa yang baru empat tahun berusaha bangkit dari penjajahan, menjadi alasan utama Syafruddin mengabdikan dirinya pada bangsa dengan menjalankan tugas sebagai ketua PDRI, setara dengan presiden. Walaupun ia hanya sementara, berkisar 270 hari (19 Desember 1948-13 Juli 1949), patut kiranya kita mengenang dan menghargai jasa-jasa Syafruddin sebagai pahlawan nasional dan presiden kedua Indonesia yang begitu berjasa menyelamatkan Indonesia.

Sosok berwibawa yang menolak sebutan Presiden ketika PDRI telah dibentuk, dengan kerendahan hatinya ia lebih suka dipanggil ketua PDRI. Karena baginya, integrasi persatuan dan kesatuan negara lebih diutamakan dibanding sekadar gelar yang melekat pada dirinya. Ini jelas berbanding arah dengan kondisi pemerintahan saat ini yang lebih mengutamakan pantat daripada akal pikiran jernih. Sebagai sosok jenius yang lebih banyak diam, Syafrudin melakukan strategi jitu.

Menyusupi pelosok-pelosok terpencil yang sulit dideteksi oleh Belanda. Kemudian, media yang kala itu masih siaran radio, menjadi alat komunikasi utama untuk membangun opini publik tentang situasi dan kondisi nasional Republik Indonesia. Akmal Nasery Basral yang sukses menovelkan kehidupan KH Ahmad Dahlan melalui Sang Pencerah, kini ia mampu meracik kembali sebuah novel yang begitu apik tentang kehidupan Pak Syafrudin sebagai Presiden PDRI dari sudut pandang tokoh fiktif Kamil Koto.

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang


Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, Rabu 4 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar