Sabtu, 07 Mei 2011

Dinamika Desentralisasi di Indonesia



Oleh Wildani Hefni

Judul buku : Kegalauan Identitas, Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca-Orde Baru
Penulis : Martin Ramstedt dan Fadjar Ibnu Thufail dkk
Penerbit : Grasindo Jakarta
Cetakan : I, Januari 2011
Tebal : 222 halaman

Membaca buku Kegalauan Identitas Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca- Orde Baru ini, mengingatkan kita akan reformasi politik 1998 yang telah membawa perubahan besar dalam diskursus politik Indonesia. 

Perubahan itu tecermin dalam pandangan bahwa pemusatan kekuatan politik bukanlah satu-satunya cara yang dianggap tepat untuk mengelola dan mengawasi keanekaragaman sosial dan budaya di Indonesia. Desentralisasi menjadi persoalan besar karena mengatur pembagian otoritas politik, otoritas pembuatan undang-undang dan hubungan fiskal antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten yang kini dikenal dengan otonomi.

Konsep desentralisasi tidak menjamin menjadi jalan keluar bagi permasalahan kompleks mengenai keanekaragaman sosial, budaya,dan agama. Maraknya konflik etnis di Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan di tempat lainnya jelas mempertontonkan sisi kelabu desentralisasi. Dinamika ruang politik identitas kian meruncing karena memunculkan proses identifikasi etnik dan regional di pelbagai daerah, sementara adat juga dihidupkan kembali.

Identitas sebagai produk khas budaya bersifat tidak pasti. Karenanya, identitas dipahami sepenuhnya sebagai produk sosial dan tidak dapat mengada di luar representasi kultural dan sosial. Sementara pada satu sisi, desentralisasi merupakan sendi negara kesatuan yang demokratis. Keberadaan pemerintah lokal merupakan bentuk pengakuan terhadap karakteristik masing-masing wilayah negara yang merupakan pencerminan dari prinsip negara hukum yang demokratis.

Indonesia sebagai bangsa yang dibangun oleh keanekaragaman identitas sosial budaya, suku, agama, ras, tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam mendesain hukum di tingkat lokal dan pusat. Pasca-Orde Baru, semenjak reformasi 1998, telah banyak kita saksikan fenomena perselisihan di Minangkabau, persoalan identitas di Bali, sengketa agama di Papua,kerusuhan Ambon, perdamaian di Minahasa,politisasi Tionghoa, dan permasalahan hak intelektual lainnya.
Yang menarik dalam ulasan buku ini adalah persoalan di Minangkabau, sebuah daerah yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan yang lainnya. Kelompok etnik Minangkabau mendominasi hampir 90 persen dari keseluruhan penduduk provinsi. Masyarakat menerima desentralisasi dengan cepat dan proses tersebut berjalan relatif damai. Namun apa pasal, yang terjadi adalah ketidaksepakatan masyarakat Minangkabau tentang identitas kolektif mereka.

Identitas Minangkabau selalu beragam, bersifat tidak pasti dan selalu dipersoalkan. Percampuran identifikasi orang Minangkabau dengan negara Indonesia,Islam,dan adat secara teratur diwujudkan dalam pepatah yang mengatakan bahwa identitas Minangkabau terdiri dari tiga tali yang terjalin (tali tigo sapilin) atau tiga tungku batu (tungku tigo sajarangan).

Identifikasi seperti inilah yang menimbulkan pergolakan krusial terkait identitas dalam ruang politik yang diejawantahkan dalam sistem desentralisasi (halaman 17). Buku ini mengajak untuk merenungkan kembali bahwa konsep desentralisasi mesti berbenturan dengan proses identifikasi. Sementara, dalam proses identifikasitaklainadalahsengketa. Baik itu individu, kelompok, saling berkompetisi untuk kepentingan masing-masing.

Sama halnya ketika pemerintah desa memproses identifikasi, mereka menekankan soal-soal tertentu sebagai konflik. Tak ayal, dalamkontekspenguasaan terhadap sumber daya alam, organisasi desa, adat, tampak ber-tentangan dengan hukum negara (halaman 35). Martin Ramstedt dan Fadjar Ibnu Thufail menengarai bahwa kegaduhan identitas itu bersumber dari kontestasi identitas kelompok yang memetakan diri sendiri dan tidak mau akan aturan pemerintah.

Secara gamblang, buku ini membuka kedok akan warisan politik rezim Orde Baru hingga memunculkan kesan seolaholah identitas adalah aspek kebudayaan yang primordial. Pada titik inilah terjadi kegalauan identitas dalam diskursus desentralisasi. Kumpulan artikel yang ditulis oleh antropolog dan peneliti senior ini patut menjadi pustaka kritis atas kebangsaan kita. Seluruh artikel menghadirkan solusi konkret untuk mencari ruang identitas dengan menekankan akan imajinasi sosial tentang aturan lokal (kewarganegaraan) harus sejalan dengan aturan pusat negara.

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang

Dimuat di Koran Seputar Indonesia, Minggu, 08 Mei 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar